TpG6BSAiBUYlBUY5TUr5GfriGi==

Mengenal Lebih Dekat Dengan Cak Nun

 MlatenMania.com - Emha Ainun Nadjib yang lebih dikenal dengan sebutan Cak Nun atau Mbah Nun lahir di desa Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur. Ia lahir pada hari Rabu Legi, 27 Mei 1953 dan merupakan anak ke-4 dari 15 bersaudara.

Mengenal Lebih Dekat Dengan Cak Nun

Biografai Cak Nun

Cak Nun merupakan seorang putra keempat dari lima belas bersaudara yang berasal dari pasangan orang tua bernama H. A. Lathif dan Chalimah. Kedua orang tua beliau dikenal terpandang di Desa dengan berbagai urusan di sekolah, musholla dan kegiatan sosial lainnya bersama penduduk sekitar.

Perjalanan rumah tangga Cak Nun tidak lepas dari awal interaksinya bersama pemuda-pemuda gamelan di Balai RK kampung Dipowinatan pada tahun 1976. Di kampung inilah ia bertemu dengan Neneng Suryaningsih serta mendapatkan pelajaran bahwa ilmu sosial modern hanya terdiri dari pot-pot kembang, bukan kebun kebudayaan dan hidup yang bermasyarakat.4 Neneng Suryaningsih merupakan penari dari Lampung yang akhirnya dipersunting oleh Cak Nun. Kemudian pada tahun 1979 mereka diberkahi seorang anak bernama Sabrang Mowo Damar Panuluh (Noe Letto). Perjalanan rumah tangga mereka tidak bertahan lama sehingga keduanya sepakat untuk bercerai. Pada tahun 1995, Cak Nun mempersunting Novia Kolopaking yang merupakan seorang penyanyi. Dalam pernikahannya tersebut dikaruniai anak bernama Aqiela Fadia Haya, Anayallah Rampak Mayesha, Jembar Tahta Aunillah dan Ainayya Al-Fatihah yang meninggal dalam kandungan.

Cak Nun membangun sebuah komunitas yang disebut Maiyah. Kegiatan yang berlangsung hingga sekarang ini bisa dikatakan sebagai aksi budaya politik Cak Nun agar bangsa Indonesia bisa lebih berkembang dalam pemikiran. Mereka yang hadir di Maiyah kadang sebagai jemaah tetap, kadang pula sebagai pengunjung yang memang serasi dengan cara pandang dan pemikiran Maiyah.

Potret Masa Kecil Cak Nun

Cak Nun memiliki ayah dan ibu yang terpandang sehingga orangorang Desa banyak berkunjung ke rumahnya dengan berbagai masalah yang ingin diberikan jalan keluar. Bahkan ketika Cak Nun masih kecil sudah sering dibawa oleh ibunya mengunjungi dan memperhatikan keadaan tetangga di Desa. Hal inilah yang membuat kesadaran dan kepedulian sosial Cak Nun dalam berpikir. Menurutnya menolong sesama manusia dari kemiskinan serta bermanfaat sebagai manusia secara utuh adalah kunci dalam ajaran Islam.

Keteladan ayah dan ibu Cak Nun merupakan sebuah cermin yang membentuk dirinya. Ibunya sangat peduli menolong warga desa hingga menjual barang-barang yang ada di rumah seperti sepeda motor, televisi, mebel dan lainnya. Secara tidak sadar justru membuat kesulitan dalam perekonomian. Namun, bagi ibu Cak Nun hal tersebut merupakan suatu keteladanan yang luhur untuk anak-anaknya. Begitu juga dengan berlatar belakang kehidupan di desa memberikan banyak pelajaran buat Cak Nun dalam kejujuran, kebijaksanaan, kesederhanaan dan kemandirian yang sangat akrab di desanya.

Sejak kecil Cak Nun juga sudah dilatih qiraah oleh ibunya sendiri. Ketika berumur 3-4 tahun, ia sering disuruh menirukan ibunya yang mengaji sambil berbaring di tikar menidurkan adiknya bernama Nas. Sekian lama berlalu hingga saat ini, Cak Nun masih mengingat persis surah ‘Ali Imran ayat 95 yang telah ditransfer ibunya serta sadar bahwa ayat tersebut adalah benih awal perjalanan hidupnya dengan berbagai pengalaman hingga di masa uzur sekarang.

Perjalanan Masa Sekolah Cak Nun

Riwayat pendidikan beliau setelah Sekolah Dasar bersambung ke Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur yang tidak bertahan lama hingga pada akhirnya menempuh SMP dan SMA di Yogyakarta. Cak Nun mengungkapkan bahwa selama dua setengah tahun menjadi seorang santri gontor yang patuh dan tertib. Beliau tidak pernah kena kasus kecuali satu persoalan yang membuatnya dipanggil dan di interogasi sekitar tiga jam oleh Keamanan Pusat. Ia membuat aksi demo bersama para santri untuk melawan Departemen Keamanan sehingga membuatnya terusir dari pondok karena mendorong lahirnya demonstrasi. Begitu demikian, sebab salah satu pejabatnya ketahuan mencuri sandal oleh Cak Nun. Lantas ia umumkan dan mengajak aksi demo yang pada akhirnya menjadi tersangka dan dipulangkan. Pengalaman diusir dari pondok bagi Cak Nun adalah satu benih penting yang tumbuh berkembang dalam sejarah hidupnya dengan siraman berbagai pengalaman hingga berbuah pada hari ini.

Perasaan sedih maupun menyesal sama sekali tidak terlintas dalam diri Cak Nun atas pengusiran dari pondok Gontor. Bahkan ia tidak beripikir untuk mencari sekolah baru. Namun ayah beliau langsung bertindak dengan mengirimnya melanjutkan sekolah ke Yogyakarta. Demikian alasannya, sebab Cak Fuad yang merupakan kakak sulungnya sedang kuliah di kota tersebut. Berawal dari sinilah, Cak Nun mulai banyak menulis, baik esai, cerpen, artikel karena perintah Cak Fuad yang juga mendapat bagian mengisi sebuah majalah di masa itu. Bahkan Cak Nun sering menulis puisi dengan rasa percaya diri setelah mendapat sanjungan dari sahabat Cak Fuad bernama Cak Muntholib Sukandar.

Meski kegemarannya dalam menulis puisi menjadi hobi, di sisi lain Cak Nun juga sering membolos sekolah sebab sering bergadang di Malioboro. Ia bahkan sempat bertengkar dengan beberapa guru sehingga tidak ingin lagi masuk sekolah di masa SMA Muhammadiyah I Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, sore menjelang maghrib Cak Fuad menasehatinya untuk sekolah lagi. Setelah shalat maghrib, ia langsung menuju rumah wakil Kepala Sekolah untuk meminta maaf dan izin diperkenankan sekolah lagi. Menurut Cak Nun, sosok kakak sulung Cak Fuad adalah orang yang tenang dan tidak pernah marah selama membimbing. Seandainya bukan Cak Fuad, ia mengakui tidak akan bisa meningkatkan kreativitas sastra hingga saat ini yang dulu dikerjakan dengan laku tharīqah dan riyādhah.

Maka bisa dipahami bahwa sejak kecil sikap kepedulian sosial Cak Nun sudah tertanam dari orang tuanya yang menjadi tokoh penting di Desa, khususnya seorang ibu yang selalu mengajak anak-anaknya bersilaturahmi ke rumah tetangga sekitar. Berdasarkan latar belakang keluarga inilah yang membuat Cak Nun menjadi orang yang mandiri dan kritis. Bahkan dalam hal pendidikan yang mengantarkannya bergelut di Yogyakarta. Keahlian beliau dalam berbagai tulisan tidak lepas dari peran seorang kakak, yaitu Cak Fuad. Hal inilah yang mengantarkan karirnya semakin cemerlang dalam menulis.

Perjalanan Karier Cak Nun

Setelah lulus dari sekolah, ia beralih ke jenjang perkuliahan yang hanya berjalan sekitar empat bulan di Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada sebab merasa berbeda dengan dunia akademik. ia lebih memilih belajar kehidupan di Malioboro Yogyakarta sekitar lima tahun antara 1970-1975. Berawal dengan bergabung kelompok penulis muda Persada Studi Klub (PSK), lalu belajar sastra dengan seorang yang ia hormati bernama Umbu Landu Paranggi. Sosok guru yang dikenal sebagai sufi misterius dan banyak memberi pengaruh dalam hidup Cak Nun. Di samping mendalami sastra, Cak Nun juga berbaur dengan berbagai bidang agama, seni, pendidikan, politik dan ekonomi agar bisa lebih berkembang. Pergelutannya dengan dunia sastra dan seni di bawah bimbingan Umbu Landu Paranggi melahirkan potensi Cak Nun sebagai penyiar dan penulis yang tersebar di berbagai media massa hingga eksistensi dirinya diakui oleh masyarakat.

Sosok Umbu Landu Paranggi bagi Cak Nun adalah seorang guru tadabbur sekaligus pencambuk punggung kehidupannya sehingga menemukan puisi sebagai ujung tadabur yang dinamakan “kehidupan puisi”. Beliau merupakan seorang yang setia menemani murid-muridnya sebagai manusia serta membimbing proses kejiwaan mereka dari kekotoran di tengah peradaban modern. Cak Nun tidak peduli apakah Umbu sebagai guru tadabur-nya seorang Muslim atau tidak, sebab metode pendidikan dialah yang mentransfer energi batin ke dalam jiwa Cak Nun di masa muda.

Sejak kecil Cak Nun memang sudah terbiasa bergaul dengan orangorang tanpa melihat identitas administratifnya. Hal inilah yang justru membuatnya bisa memasuki jagat manusia serta kemanusiaan ciptaan Yang Maha Kuasa. Bahkan Umbu Landu Paranggi sebagai guru Malioboro yang ia muliakan, sejak 1969 hingga saat ini, Cak Nun tidak pernah menanyakan apa agama beliau. Baginya pertanyaan itu bagian dari tugas malaikat Munkar dan Nakir. Sedangkan manusia bertugas saling memberi kenyamanan, menyayangi, menghormati dan bekerja sama guna mewujudkan rahmatan lil ‘ālamīn. Begitu juga Kiai Tohar alias Mas Toto Raharjo seorang sahabat Cak Nun sejak 1980-an yang tidak pernah ia tanyai apa agamanya. Kiai Tohar adalah seorang yang ikut memperjuangkan hak rakyat Boyolali, Kedungombo, Mlangi dan puluhan kasus lainnya. Menurut Cak Nun, ia adalah seorang yang berhati mulia, berakhlak, menyayangi rakyat kecil serta menjunjung nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan.

Perjalanan Cak Nun sejak kecil memang berbeda dengan lainnya. Selayaknya seorang yang sendirian berjalan, di masa remaja sudah ditenggelamkan Tuhan dalam dunia puisi yang penuh pergolakan. Baginya hal tersebut adalah pembentukan diri agar tidak frustasi dalam kesendirian, kesepian serta keterpinggiran dalam hidup. Setelah lulus SMA, ia ungkapkan dalam sebuah puisi “Orang-orang maju ke belakang. Orang-orang mundur jauh ke kehampaan. Ketelingsut di tikungantikungan zaman. Dalam arti sebenarnya, Cak Nun menyebut dirinya sebagai gelandangan ilmu dan kehidupan sebab tidak seperti pelajar umumnya serta tidak sebagaimana santri yang berpaham kitab-kitab kuning tradisional. Beliau menempuh jalan sunyi dengan bersembunyi di Gua Iman dan Cinta kepada Allah SWT. yang dirasakan apa adanya dalam batin kehidupan.

Pada tahun 1976, Cak Nun sudah khatam bergadang di Malioboro. Begitu juga guru yang sangat dihormatinya sudah berhijrah ke Denpasar. Maka Cak Nun mulai menyentuh teater dengan ikut kelompok Bengkel Teater. Di tahun ini pula Cak Nun dikenal sebagai penulis yang tersebar di koran-koran dengan opininya. Tema yang ia tulis juga luas dari sastra ke kesenian lalu kebudayaan yang mengandung sebuah dialektka politik dan nuansa agama. Bahkan di tahun 1975, Cak Nun pernah berdebat dengan penyair senior yang terkenal, yaitu Goenawan Mohammad di harian Kompas Jakarta.

Dalam menulis, Cak Nun berprinsip tidak menjadikannya sebagai karir melainkan bagian dari kepedulian sosial sehingga telah banyak melahirkan tulisan-tulisan berupa artikel, esai, puisi, cerpen, naskah drama dan buku. Meski demikian, di masa Orde Baru beliau pernah mendapatkan fitnah dengan tuduhan hanya mencari duit dalam menulis. Hal ini membuatnya marah sehingga ia sempat berikrar untuk berhenti menulis dan bicara. Padahal opini, orasi dan tulisan-tulisannya disampaikan dengan tajam, jernih serta mudah untuk dicerna. Melansir dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia bahwa Kontowijoyo menyebut Cak Nun sebagai budayawan yang bisa mewakili sensibilitas para pemuda di masa itu yang berpikir kritis tetapi religius. Di balik tulisannya terlihat sosok anak muda sosial sekaligus memiliki kecenderungan mistik. Demikian juga oleh Arief Hakim yang menyebut Cak Nun seorang yang sangat produktif dalam menulis, khususnya persoalan aktual dan kontekstual baik dalam sosial-politik maupun pemiskinan kebudayaan dengan kritik-kritiknya yang tajam.

Dalam bekerja, Cak Nun pernah menjadi seorang wartawan surat kabar Mertju Suar di Yogyakarta hingga berubah nama menjadi Masa Kini. Beliau bertugas sebagai wartawan lokal di bidang kesenian dan kebudayaan sekaligus merangkap sebagai redaktur Rubrik Remaja dan Kaum Muda mengenai karya-karya sastra. Kemudian beralih ke bidang sosial politik, Universitaria, hukum, agama dan seterusnya. Berbagai pengalaman telah beliau lalui mulai dari meliput pementasan kesenian, demo, pengejaran narkoba dan lain-lain.22 Selama tiga tahun dari 19731976 mendapatkan amanah sebagai redaktur Seni-Budaya, Kriminalitas dan Universitarian di media harian Masa Kini. Begitu pula pernah sebagai redaktur tamu selama tiga bulan di bernas. Kepiawaiannya yang terus aktif dalam pemikiran keagamaan, sinergi ekonomi, pendidikan politik serta pemberdayaan masyarakat telah diatur sedemikian rupa agar bisa mendorong potensi masyarakat berkembang optimal.

Adapun dalam politik, Cak Nun pernah merasa kecewa dengan munculnya era baru sebab banyak para tokoh agama yang berebut kursi kekuasaan politik. Hal inilah yang melahirkan pengajian Maiyah sebagai bentuk protes dan keprihatinan beliau dalam berbagai masalah sosial, politik serta ketidakadilan di masa Orde Baru. Kiprahnya ini beliau manfaatkan dengan pendekatan sosio-religius bertemakan eksistensialis yang bertujuan ke sufisme.

Dalam sebuah wawancara dengan Cak Nun dikutip oleh Ismail Angkat, mengenai Maiyah adalah wadah bagi seluruh umat manusia agar bisa lebih memahami plurailisme sehingga bisa menjadikan manusia saling menghargai agama orang lain. Pluralisme hadir di masyarakat mana pun keberadaannya dan mengikuti perkembangan serta tidak terikat oleh sektarianisme. Orang-orang yang berhadir pengajian Maiyah berbeda-beda, ada yang sudah menjadi bagian dari Maiyah, ada pula pengunjung yang merasa pemikirannya sesuai dengan cara pandang Maiyah.

Macam-Macam Prestasi Cak Nun

Perjalanan Cak Nun banyak melahirkan prestasi yang ia buat, baik berupa tulisan atau pentas yang ada di dalam serta luar negeri. Di dalam negeri, ia sering aktif dalam berbagai forum sastra, baik akademis maupun non-akademis. Berbagai pertunjukan inilah yang menjadikan beliau semakin kritis sehingga membuatnya semakin dekat dengan rakyat, jenderal, birokrat, cendekiawan, mahasiswa hingga menteri. Hal ini membuktikan bahwa Emha Ainun Nadjib adalah seorang seniman yang suka berbaur di masyarakat.

Ketika di tahun 1975, lahirlah sebuah komunitas bernama Teater Dinasti yang didirikan oleh Cak Nun bersama teman-temannya. Kumpulan puisi dari beliau M. Frustasi juga diterbitkan dalam bentuk stensilan.  Di masa ini beliau banyak bergelut dalam kehidupan sastra di Yogyakarta yang bersinggungan dengan kesenian, politik, agama hingga ekonomi.28 Kemudian pada 1980-an di luar negeri beliau aktif dalam kegiatan kesenian internasional Lokakarya Teater di Filipina (1980), Festival Penyair International di Rotterdam Belanda (1984), International Writing Program di Universitas Lowa City AS (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Jerman (1985).

Cak Nun lebih suka membacakan karya puisinya di hadapan umum secara langsung dibandingkan terbit di sebuah koran atau buku. Berbagai kegiatan di kampus, pesta ulang tahun atau acara buruh. Bahkan pada tahun 1979, ia pernah membacakan puisi di sebuah klub malam dalam acara dischotique Ambarakno Palace Hotel yang terkenal elit dan ternama di masa itu. Tentunya hal ini banyak mengundang kritikan dari rekanrekannya sebab Cak Nun dikenal seorang yang jauh dari kehidupan yang berkilau. Nampaknya beliau ingin memperkenalkan puisi-puisi dari tempat-tempat yang jauh tersentuh dunia sastra. Cak Nun sendiri mengakui tindakannya itu adalah sebuah tugas untuk menjembatani antara dua dunia, yaitu dunia diskotek yang hura-hura dan dunia puisi dengan jalan sunyinya. Meski dua dunia ini mustahil untuk dijodohkan, setidaknya bagi Cak Nun bisa dilihat bahwa pelakunya adalah sesama manusia.

Adapun karya Cak Nun dalam penulisan sudah tumbuh pada akhir tahun 1969 atau di saat berumur 16 tahun ketika di jenjang SMA Muhammadiyah I Yogyakarta. Banyak karya beliau yang tersebar seperti di majalah Tempo, Tifa Sastra, Pandji Masyarakat, Basis, Horison, Dewan Sastera (Malaysia), Budaja Djaya dan Zaman. Sedangkan di surat kabar seperti di Surabaya Post, Masa Kini, Republika, Kompas dan lainnya. Dalam perkembangannya karya beliau mulai di bukukan pada tahun 1975 baik dalam bentuk puisi, esai, naskah drama, cerpen dan wawancara. Bahkan di masa sekarang buku beliau masih banyak diminati dan diterbitkan sebab dianggap masih sesuai dengan konteks kehidupan di Indonesia.

Buku-buku kumpulan puisi yang sudah terbit, di antaranya adalah “M” Frustasi dan Sajak-Sajak Cinta (1975), 99 untuk Tuhan (1980), Nyanyian Gelandangan (1982), Suluk Pesisiran (1989), Syair Lautan Jilbab (1989) dan Cahaya Maha Cahaya (1991). Sedangkan beberapa buku dalam kumpulan esai, di antaranya Sastra yang Membebaskan (1984), Slilit Sang Kyai (1991), Secangkir Kopi Jon Pakir (1992), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1994), Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996), Tuhan Pun Berpuasa (1997) dan Demokrasi La Raiba Fih (2010). Kiai Hologram (2018), Pemimpin yan Tuhan (2018), Markesot Belajar Ngaji (2019), Sinau Bareng Markesot (2019), Indonesia Bagian dari Desa Saya (2020), Mbah Nun Bertutur (2021) dan Mereka yang Tak Pernah Mati (2022)

Sekian banyak prestasi yang beliau hasilkan di khalayak umum, khususnya dalam berbagai tulisan menunjukkan bagaimana kepiawaiannya sebagai penulis yang paling produktif hingga di masa sekarang. Bahkan beberapa tulisan beliau yang lama, masih relevan dalam kehidupan saat ini. Hal ini sekali lagi menunjukkan bagaimana pedulinya Cak Nun terhadap keadaan sekitar dan bangsa ini lewat tulisan-tulisannya. Begitu juga dalam buku Secangkir Kopi Jon Pakir yang menjadi bahan penelitian ini masih memiliki kerelevanan di masa sekarang. 

Karakteristik Komunikasi Dalam Dakwah Cak Nun

Komunikasi dakwah yang dilakukan oleh Cak Nun memiliki karakteristik sendiri. Yaitu; tatanan komunikasi; model komunikasi; dan fungsi komunikasi.

Tatanan komunikasi Dalam Dakwah Cak Nun

Tatanan komunikasi adalah proses komunikasi ditinjau dari dari jumlah komunikan, apakah hanya satu orang komunikasi, sekelompok orang, atau sejumlah orang yang bertempat tinggal secara tersebar. Mengacu pada pengertian tersebut maka tatanan komunikasi diklasifikasikan menjadi komunikasi intrapribadi, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok. 

Komunikasi kelompok adalah suatu bidang studi, penelitian dan terapan yang tidak menitikberatkan perhatiannya pada proes kelompok secara umum, tetapi pada tingkah laku individu dalam diskusi kelompok tatap muka yang kecil

Model Komunikasi Dalam Dakwah Cak Nun

Komunikasi yang dilakukan Cak Nun dalam setiap proses dakwahnya adalah model komunikasi Aristoteles. Hal ini ditinjau dari posisi individu yang terlibat dalam prosesnya. Selain itu untuk menentukan model komunikasi yang digunakan oleh Cak Nun dalam dakwahnya juga ditinjau dari tujuan berlangsungnya komunikasi tersebut.

Model komunikasi Aristoteles menjelaskan bahwa ada tiga unsur dasar proses komunikasi, yaitu pembicara (speaker), pesan (message), dan pendengar (listener). dari penjelesan tersebut jika dikaitkan dengan model komunikasi dalam dakwah Cak Nun posisi Cak Nun adalah sebagai pembicara (speaker) kemudian khalayak sebagai pendengar (listener) dan pesan dakwah dalam komunikasinya.

Kesimpulannya model komunikasi yang digunakan dalam setiap komunikasi dakwah yang dilakukan Cak Nun adalah model komunikasi Aristoteles. Hal ini ditinjau dari posisi individu dalam setiap proses komunikasinya. Selain itu, tujuan komunikasi dalam model komunikasi Aristoteles juga sama seperti tujuan dari proses dakwah.

Model komunikasi Aristoteles dalam komunikasi dakwah Cak Nun dapat ditinjau dari pesan persuasif yang dilancarkan dalam setiap komunikasi dakwah Cak Nun. Persuasi berlangsung melalui khalayak ketika mereka diarahkan oleh pidato itu kedalam suatu keadaan emosi.

Komentar0

Tinggalkan komentar Anda disini: