TpG6BSAiBUYlBUY5TUr5GfriGi==

Sejarah Perfilman Indonesia

 MlatenMania.com - Film merupakan hasil karya cipta manusia (didalamnya telah termasuk proses produksi maupun proses pembelajaran cerita) yang berwujud audio maupun visual, memiliki suatu alur cerita, baik fiktif maupun nyata. Film merupakan hasil karya seni audio dan visual yang proses pengerjaannya memakan waktu, biaya dan tenaga. Hal ini karena film merupakan rekaan dari kehidupan manusia. Sehingga dalam proses pengerjaannyapun sebisa mungkin dapat sesuai dengan kondisi kehidupan nyata manusia.

Sejarah Perfilman Indonesia

Awalnya film hanya dapat dinikmati secara visual, tidak dapat dengan audio seperti saat ini yang telah canggih. Lebih dikenal dengan film bisu, yaitu ketika proses produksi film pertama kali dilakukan dengan menggunakan seloloid. Film bisu ini masih berupa film-film berdurasi pendek dan berwarna hitam putih, hal tersebut karena kondisi teknologi yang berkembang saat itu.

Film bisu lebih menonjolkan akan mimik wajah serta totalitas dalam gerak masing-masing pelakunya. Karena yang dapat dilihat dan dinikmati adalah visual dari film tersebut. Gerakan-gerakan pelakulah yang akan memberi cerita. Hal ini memaksa para pelaku di dalamnya untuk bekerja keras dalam memerankan tokoh yang dilakonkan, agar penonton dapat dengan mudah mengetahui maksud dari gerakan yang dicoba mereka perankan.

Sehingga kualitas cerita maupun kemampuan masing-masing pemeran haruslah baik. Sebab penjiwaan mereka dalam memainkan satu lakon akan sangat terlihat sekali. Apabila pemeran film tidak dapat menjiwai cerita tersebut, maka film tersebut akan sangat sulit untuk dimengerti. Contoh saat ini adalah ketika terdapat pertunjukan pantomim. Pemeran pantomin tersebut haruslah pandai dalam berekspresi dan bergerak. Karena orang akan mencoba membaca maksud dari pantomim tersebut melalui gerakannya. Hal semacam itu juga yang diperankan dalam film bisu tersebut.

Pada saat itu film bisu merupakan hal yang sangatlah canggih dan sangat berharga. Oleh karenanya selalu dikembangkan dan diolah mengenai kualitas dalam produksi film tersebut. Hingga akhirnya dapat ditemukan film yang dapat dinikmati secata visual maupun audio. Namun kecanggihan teknologi tersebut dalam kondisi visual yang berwarna hitam putih.

Film bersuara ini akan relatif lebih mudah dari film bisu. Sebab untuk menerangkan maksud dari cerita film tersebut dapat melalui ungkapan-ungkapan percakapan pemerannya. Sehingga film semakin diminati oleh berbagai kalangan karena kecanggihannya saat itu. Hingga akhirnya berkembang film-film berwarna dan bersuara yang lebih canggih lagi, sebagai dampak kecanggihan teknologi yang kian hari kian baik. Saat ini film bahkan telah mencoba memasukkan unsur animasi dari komputer untuk dimasukkan ke dalam film. Animasi komputer tersebut saat ini dibuat senyata mungkin, mendekati seperti bentuk nyata dan lebih menyatu dengan adegan-adegan cerita di dalam film tersebut. Seiring berkembangnya teknologi produksi film, berkembang pula jenis cerita film atau biasa dikenal dengan genre. Jenis cerita film akhirnya berkembang pesat, dari film fiktif, film nyata, film action, film petualangan, dan lain sebagainya. Sehingga semakin bertambah pula masyarakat yang hendak memberikan apresiasi terhadap produksi film tersebut melalui menontonnya di bioskop-bioskop.

Sejarah Umum Perfilman Di Indonesia

Film pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tanggal 5 Desember 1900, di Jakarta (saat itu bernama Batavia). Pengenalan film pertama ini dilakukan oleh Belanda yang saat itu juga sedang menjajah Indonesia. Pengenalan film di Indonesia bertepatan dengan 5 tahun film dan bioskop di Perancis hadir. Saat itu, rakyat Indonesia, khususnya Jakarta belum mengenal istilah “film”, melainkan istilah “Gambar Idoep” (baca : Gambar Hidup).

Pemutaran film pertama tersebut merupakan film dokumenter yang menceritakan perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag, Belanda. Sayangnya pemutaran film pertama ini masih terbilang tidak sukses, karena sedikitnya penonton yang hadir dikarenakan mahalnya harga tiket untuk menontonnya. Dengan melihat kesalahan yang terjadi pada 5 Desember 1900, pada tanggal 1 Januari 1901 diadakan kembali pemutaran film yang sama. Pada pemutaran kedua ini, harga karcis telah dipotong hingga 75% dari harga semula. Hal ini dilakukan untuk merangsang para penduduk sekitar untuk menonton film dokumenter tersebut.

Film pertama yang dikerjakan di Indonesia adalah film bisu berjudul “Loetoeng Kasaroeng”, dengan sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Aktor maupun aktris yang dimainkan dalam film tersebut adalah artis lokal, dan diproduksi oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung. Hal ini dikarenakan produksi film tersebut dibiayai oleh Bupati Bandung saat itu, Wiranatakusumah V. Untuk penayangan perdana dilaksanakan pada tanggal 31 Desember 1926 hinggal 6 Januari 1927, di teater Elite and Majestic (Oriental Bioscoop).

Kemudian dunia perfilman Indonesia mengalami pertumbuhan. Namun pertumbuhan yang terjadi tidak seperti yang dibayangkan, sebab pada masa itu situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk pengerjaan sebuah film, sebab saat itu rakyat Indonesia sedang berjuang untuk melawan penajajah saat itu, yaitu Jepang dan Belanda. Data menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1926-1931 terdapat 21 judul film, baik film bisu maupun film bersuara, dan hingga tahun 1936 tercatat 227 bioskop, menurut majalah film Filmrueve.

Sejarah mencatat perfilman Indonesia menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an. Saat itu film yang cukup terkenal adalah “Catatan Si Boy”, dan dan dibintangi artis yang terkenal pada masa itu seperti Onky Alexander, Meriam Bellina, Nike Ardilla, Paramitha Rusady.

Kemudian pada tahun 1990-an, perfilman Indonesia mulai mengalami mimpi buruk. Setiap tahun Indonesia menghasilkan 80-100 judul film, namun ketika tahun 1990-an menjadi turun sangat tajam. 1991 tercatat terdapat 25 judul film. Pada tahun 1993 hingga bulan Mei hanya terdapat 8 judul film. Merupakan angka yang sangat menyedihkan bagi dunia perfilman Indonesia tatkala itu.

Dunia perfilman Indonesia disebut-sebut mulai bangkit kembali pada tahun 1999, ketika film karya Mira Lesmana dan Riri Reza dengan judul “Petualangan Sherina” hadir di layar emas menandai bangkitnya dunia perfilman Indonesia. Walaupun 1999 dikatakan sebagai kebangkitan film Indonesia setelah mati suri, tetap saja produksi film ketika itu masih tergolong sedikit. Bahkan tahun setelah itu cenderung menurun apabila dibuat sebuah grafik. Dari tahun 2000an hingga 2004 hanya tercatat 36 judul. Namun 2005 tercatat 29 judul pertahunnya. Dan tahun 2008 terdapat 80 judul film per tahunnya. Walau angka tersebut belum dapat melebihi produksi tahun 1980an, para pelaku seni film tetap berkreasi demi perfilman Indonesia yang lebih baik lagi. Namun secara mengejutkan produksi film tahun 2008 mencapai 75 judul film, namun ketika tahun 2009, telah dapat terproduksi lebih dari 100 judul film.

Menurut sutradara terkenal, Garin Nugroho menyatakan apabila secara kualitas film Indonesia era 2009 ini memang memiliki kuantitas yang semakin bertambah, namun bila dilihat dari sisi kualitas akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan adanya pekerja-pekerja seni karbitan yang ingin dengan segera karya-karya yang diproduksi dapat laris dipasaran, karena mereka saat ini berorientasi kepada keuntungan dari film-film yang diproduksi tersebut.

Teknologi Film Di Indonesia

Perkembangan perfilman di Indonesia dimulai sejak masuknya film yang dibawa saat penjajahan Belanda tahun 1900an. Ketika itu masyarakat Indonesia disuguhkan oleh hasil karya dari negeri Belanda, sebuah cerita mengenai kisah perjalanan Ratu Belanda. Film tersebut masih merupakan film bisu dan berwarna hitam putih.

Kemudian seiring berjalan waktu, masyarakat Indonesia, khususnya para seniman, mencoba untuk memproduksi sendiri film semacam itu. Film pertama adalah Loetoeng Kasaroeng. Film ini memiliki teknologi yang mirip dengan pembuatan film yang dibawa oleh Belanda. Film ini masih film bisu dan berwarna hitam dan putih. Film ini ditayangkan 31 Desember 1926.

Teknologi perfilman Indonesia mulai canggih, tahun 1931 mulai dengan pembuatan film bersuara. Film pertama bersuara tersebut berjudul “Nyai Dasima”, dan mulai ditayangkan tahun 1932. Film bersuara tersebut masih berwarna hitam dan putih. Selanjutnya diproduksi pula film bersuara dan mencoba untuk memasukkan unsur musik ke dalam film tersebut. film tersebut berjudul “Terpaksa Menika”.

Kemudian sekitar tahun 1937, sudah diproduksi film musikal seperti halnya film-film musikal yang marak ditahun 2009. Film musikal ternyata telah berkembang sejak lama. Film musikal yang diproduksi ini berjudul “Terang Boelan”. Film ini menjadi sangat populer ketika itu, karena jenis baru film yang pernah dikerjaan di Indonesia.

Setelah itu produksi film makin berkembang baik secara kualitas maupun kuantitas. Hingga akhirnya menuju puncak kejayaan pertama ditahun 1941. Selanjutnya film Indonesia mulai untuk melakukan perbaikan tidak hanya dalam peran, namun juga dalam teknologi produksi sebuah film.

Memasuki 1942, keadaan perfilman Indonesia mulai menurun. Hal ini terjadi ketika Belanda menyerahkan Indonesia kepada Jepang. Jepang mengambil alih semua kekuasaan Belanda dan merubah sebagian besar kebijakan perfilman yang terjadi ketika masa penjajahan Belanda. Akhirnya pada masa-masa ini perfilman menjadi menurun dari segi kuantitas. Hingga berdampak pada teknologi film yang digunakan juga memiliki keterbatasan yang sangat memperihatinkan bila dibanding dengan kebijakan semasa penjajahan Belanda.

Masa-masa tahun 1940an merupakan masa perubahan yang cukup drastis dirasakan oleh industri perfilman Indonesia. Dari produksi yang banyak, kemudian secara drastis turun hingga setengahnya lebih. Dan kondisi film saat itu mengalami fakum dalam produksi dan lebih mengarah ke politik dan pendidikan.

Setelah tahun 1945, perfilman Indonesia mulai bangkit kembali. Hal ini ditandai dengan hadirnya sekolah film di kota Yogyakarta. Adanya sekolah film tentunya juga memberikan dampak yang baik bagi perkembangan teknologi dalam perfilman. Karena dengan adanya pendidikan dalam dunia film, maka harapannya teknologi dari luar negeri akan juga dapat diajarkan didalam sekolah film tersebut, dan tentunya akan sangat memiliki manfaat bagi perkembangan dunia perfilman.

Seiring berkembangnya kondisi politik Indonesia, sedikit banyak mempengaruhi perkembangan teknologi yang dipakai oleh para pembuat film di Indonesia. Hal ini dapat dirasakan pada tahun 1952 ketika PERSARI (Perseroan Artis Film Indonesia) memiliki studio terbesar se-Asia Tenggara dan ketika itu memiliki kerja sama dalam produksi film bersama perusahaan dari Filipina.

Namun, hal tersebut tidak bertahan lama, sebab tahun 1960 terjadi pemberontakan di hampir sebagian wilayah Indonesia. Ini menjadikan kondisi perfilman menjadi ikut terguncang, dan menyebabkan produksi film semakin terpuruk. Hal ini juga dikarenakan banyaknya film dari luar negeri yang mencoba masuk Indonesia dengan memanfaatkan kondisi Indonesia kala itu.

Tahun 1968 teknologi baru dalam proses pembuatan film memiliki perkembangan yang baik. Film-film telah dapat diproduksi secara berwarna, tidak hanya hitam dan putih saja. Selain itu hadirnya teknologi cinemascope juga mendapat sambutan bagi para pelaku dunia film Indonesia. Namun, hal itu nampaknya tidak memberikan pengaruh terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya. Hingga akhirnya, produksi film tetap berjalan, namun tidak segairah pada tahun-tahun sebelumnya.

Tahun 1980an pembuktian mengenai teknologi film yang digunakan mulai menarik minat para penikmat film bioskop. Bukti lainnya, semakin banyak pula orang-orang dalam duni film yang memproduksi film. Hal ini terlihat dari banyaknya film yang diproduksi tiap tahunnya.

Namun, hal tersebut tidak bertahan lama. Periode 1990an kondisi perfilman Indonesia kembali menurun. Mulai bosannya masyarakat dengan jenis film pada masa itu merupakan alasan ketertarikan mereka yang berkurang terhadap film Indonesia. Film Indonesia sempat fakum pada 1990an, karena kondisi politik dan juga kondisi teknologi yang digunakan oleh para pembuat film.

Teknologi komputer mulai berkembang setelah masa ini. 2002 merupakan tahun dimana teknologi komputer benar-benar mulai ikut ambil bagian dalam tahap pemberian efek-efek untuk memperindah film tersebut. Teknologi komputer memberikan perubahan besar terhadap karya film dari anak bangsa. Secara kualitas juga mengalami perubahan yang semakin baik. Film-film semakin baik dan rapi dalam pengerjaannya ketika teknologi komputer ini masuk.

Hingga saat ini, komputer tidak dapat dilepaskan dari dunia film. Dengan komputer itu pula, terdapat pergeseran sedikit mengenai film. Saat ini sedang banyak dikagumi akan adanya film-film yang mencoba memasukkan unsur animasi kedalam sebuah film.

Sumber : Sejarah Dan Perkembangan Perfilman, Yakobus Christian Ardy Pambudi.

Komentar0

Tinggalkan komentar Anda disini:

Type above and press Enter to search.