MlatenMania.com - Semarang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah memiliki struktur yang berbeda secara geografis maupun secara historis. Secara geografis, Semarang terbagi menjadi dua bagian, diantaranya Semarang bagian atas dan Semarang bagian bawah yang secara pariwisata biasa disebut dengan Semarang down town dan Semarang up town. Semarang bagian atas biasanya dijadikan tempat pemukiman dan Semarang bagian bawah sebagai pusat perekonomian. Secara historis Kota Semarang memiliki cukup banyak bangunan kolonial sebagai bukti eksistensi pemerintah kolonial Belanda yang sangat kentara dibidang politik maupun perekonomian dimasa penjajahan. Banguan ini merupakan aset penting bagi Kota Semarang, aset ini sebagai sarana komunikasi secara budaya maupun pariwisata dengan masyarakat lain, baik lingkup daerah, nasional maupun internasional.
Sejak 1963 telah ada beberapa aktivitas lokal dalam bidang perencanaan kota. Aktivitas tersebut merupakan bentuk pelaksanaan politik desentralisasi yang memberikan kekuasaan penuh kepada daerah dalam pengembanganya. Pada awalnya Kota Semarang berkembang dengan pesat karena adanya perkembangan perkebunan maupun industrialisasi. Sebagai dampaknya Kota Semarang menjadi padat dan perkembangan kota semakin tidak terkendali.
Semarang Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Pemerintah Belanda menetapkan Semarang sebagai Kotapraja (gemeente) pada 1 April 1906. Sejak saat itu sistem administrasi kota diselenggarakan sebagai mana sistem yang berlaku pada kota-kota yang modern, disisi lain pembangunan terutama ditujukan pada penyediaan pembangunan perumahan untuk orang-orang Belanda di Halmahera dan Sompok. Belanda juga mendirikan pelabuhan Semarang pada tahun 1931 serta penyusunanya rencana induk Kota Semarang yang disusun oleh Thomas Karsten.
Thomas Karsten berperan sebagai perencana utama dan arsitek handal pada era modernisasi di Kota Semarang. Thomas berperan sebagai penasehat perencana kota, serta memberikan kontribusi terutama pada Kota Semarang yang terdiri dari rencana kota, rencana detil dan peraturan. Thomas Karsten menetapkan Indische Stedebouw sebagai tema dalam perencanaan kota. Pendekatan yang dipakai menggunakan pendekatan iklim dan budaya setempat, sedangkan perhatian terhadap kondisi setempat baik fisik maupun sosial budaya dan ekonomi berkembang menjadi sikap yang terekspresikan dalam bangunan yang dibuatnya. Jika berada dalam bangunan Krasten, orang akan menikmati udara sejuk dan kendati sosoknya gagah, bangunan Karsten tidak muncul sebagai unsur asing dalam lingkunganya.
Beberapa rencana lama, tidak lagi cocok maka pada tahun 1916 dengan bekerjasama dengan ahli-ahli setempat diminta untuk pengembangan perencanaan kota. Pada masa itu candi, merupakan kawasan kota diselatan Kota Semarang yang berbukit-bukit udara sejuk dengan pemandangan yang indah dan belum tersentuh urbanisasi. Setelah wilayah candi dikuasai pemerintah, pengembangan Kota Semarang diarahkan ke wilayah candi. Karsten membaginya kedalam tiga zona, dengan berpacu pada flora, karakteristik dan topografi. Selayaknya Semarang dikelilingi dengan peristiwa besar dan bersejarah. Peristiwa besar itu bagaikan tanaman yang subur yang nantinya menjadi taman yang indah dan menampilkan keelokan setiap insan mata memandang.
Selama masa pemerintahan Belanda di Semarang mereka membangun beberapa bangunan untuk memperkuat kekuasaanya. Bangunan-bangunan tersebut hingga saat ini masih banyak yang berdiri kokoh hingga saat ini. Hal tersebut menunjukan bahwa keberadaan Belanda di Semarang tidak hanya memberikan dampak negatif bagi perkembangan Kota Semarang namun juga dampak positif dengan berdirinya bangunan-bangunan yang kuat, bangunan tersebut antara lain Lawang Sewu, Kantor Pos Besar Semarang, Gereja Blenduk, Toko Oen dan lain-lain.
Bangunan-Bangunan Peninggalan Belanda
Bangunan-bangunan Belanda yang masih berdiri hingga saat ini sejumlah lima buah bangunan yang menjadi ikon Kota Semarang, salah satu yang terkenal adalah Lawang Sewu. Lawang Sewu terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelminaplein. Lawang Sewu dibangun oleh Belanda pada tahun 1904 dan selesai tahun 1907 ini dulunya diperuntukkan untuk Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS, perusahaan jawatan kereta api swasta pada jaman Belanda sebagai kantor administrasi. Masyarakat setempat menyebutnya Lawang Sewu (Seribu Pintu) dikarenakan bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak. Bangunan ini memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu (lawang). Dalam perkembangnya saat ini Lawang Sewu sudah tidak dipergunakan sebagai kantor perusahaan kereta api, namun telah berkembang menjadi sebuah objek wisata masyarakat. Bahkan sebelumnya bangunan tersebut pernah juga dipakai sebagai Kantor Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro) dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementrian Perhubungan Jawa Tengah. Pada masa perjuangan gedung ini memiliki catatan sejarah tersendiri yaitu ketika berlangsung peristiwa Pertempuran lima hari di Semarang (14 Oktober – 19 Oktober 1945).
Bangunan Lawang Sewu
Lawang sewu, satu diantara sedikit bangunan yang mempunyai integritas arsitektur yang kuat perpaduan antara pengaruh luar indische dengan keunikan lokal yang kental dan tanggap terhadap iklim maupun lingkungan sekitar yang masih tersisa. Dari segi tampilan bangunanya gedung Lawang Sewu menganut gaya Romanesque Revival dengan. Secara umum gedung Lawang Sewu tidak memiliki simbol yang penting, namun bila ditinjau dari skala Kota atau wilayah keberadaan gedung yang terletak di tengah-tengah Kota Semarang ini, keberadaannya sangat berarti bagi pembentukan citra lingkungan dan mampu tampil sebagai“landmark” bagi Kota Semarang. Keseluruhan gedung ini merupakan karya yang sangat indah sehingga dijuluki “Mutiara dari Semarang“.
PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang saat ini mengelola Lawang Sewu sedang giat-giatnya memberdayakan aset-aset, yang selama ini terlantar. Salah satu aset milik PT KAI yang kini sudah direvitalisasi adalah Gedung Lawang Sewu, Semarang, Jawa Tengah. BUMN kereta api ini mencoba mengubah kesan angker yang selama ini sudah mengakar di gedung peninggalan Belanda tersebut.
Selama ini beberapa acara komersil sudah banyak digelar di area Lawang Sewu, misalnya acara galeri seni, acara korporat bidang otomotif dan lain-lain. Secara perlahan, Lawang Sewu akan memberikan kontribusi pendapatan bagi PT KAI. Sebagai bangunan kuno dan bersejarah, gedung ini identik dengan Kota Semarang, menjadi tetenger ataupun landmark kawasan sekitarnya, dan memenuhi kriteria Catanese Snyder (1979) untuk dikonservasi. Pemenuhan kriteria tersebut sebagai berikut Pertama nilai Estetika yang tinggi. Tolak ukur estetika ini dikaitkan dengan nilai estetis dan arsitektonis yang tinggi dalam hal bentuk, struktur, tata ruang, dan ornamennya. Kedua nilai Kejamakan, Lawang Sewu mewakili satu kelas atau jenis khusus bangunan yang cukup berperan, karena karya arsitektur tersebut mewakili suatu jenis khusus yang spesifik. Ketiga nilai Kelangkaan, Lawang Sewu jelas sebuah bangunan yang sangat langka, karena hanya satu dari jenisnya, atau merupakan contoh terakhir yang masih ada, bahkan merupakan satu-satunya di dunia, atau tidak ada di lain daerah. Keempat nilai Peranan Sejarah, Lawang Sewu juga menjadi saksi sejarah perjalanan penjajahan kolonial sampai Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Sumber : Fungsi Bangunan Lawang Sewu dan Image Kota Semarang Tahun 1904-2009, Bebet Adi Wibawa: 2015.
Demikian artikel mengenai Seajarah Singkat Lawang Sewu, mudah-mudahan bermanfaat untuk semuanya. Sekian dan terimakasih.
Komentar0
Tinggalkan komentar Anda disini: