TpG6BSAiBUYlBUY5TUr5GfriGi==

Sate Maranggi Kuliner Khas Kabupaten Purwakarta

 MlatenMania.com - Indonesia memiliki beragam keunikan baik dari segi cita rasa, penyajian, maupun cara pembuatan yang terkandung dalam berbagai menu makanan khas mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, hingga ke tingkat provinsi. Salah satu kabupaten yang memiliki kuliner khas yang sudah terkenal hingga ke tingkat provinsi yaitu Purwakarta yang terkenal dengan sate maranggi. Ketenaran sate maranggi di Kabupaten Purwakarta sudah tahun 1960-an. Dimulai dari dua sentra sate maranggi, yaitu daerah di sekitar stasiun Plered dan Hutan jati Cibungur, kekhasan cita rasa sate maranggi tersebut kemudian semakin dikenal dan hingga kini dapat dengan mudah ditemukan utamanya di seantero wilayah Kabupaten Purwakarta.

Sate Maranggi Kuliner Khas Kabupaten Purwakarta

Sate Maranggi

Sate Maranggi adalah salah satu jenis kuliner khas Kabupaten Purwakarta yang dibuat dari potongan daging berbentuk dadu berukuran sekitar 1 cm. 4 potongan daging tersebut disatukan sejajar dengan cara ditusukan pada bilah bambu runcing berukuran sekitar 20 cm. yang kemudian diberi bumbu lalu dipanggang hingga matang. Bahan dasar adalah bahan makanan (mentah) utama yang digunakan untuk membuat sebuah menu masakan. Jumlah bahan dasar tergantung dari menu masakan itu sendiri. Sate misalnya, bahan utamanya hanya berupa daging mentah. Adapun daging mentah tersebut dapat berasal dari daging ayam, kambing, sapi, dan lain-lain. Bahan pendukung adalah peralatan yang digunakan untuk memasak sebuah makanan. Variasi dari peralatan yang dibutuhkan untuk membuat sebuah menu tergantung dari cara dan proses pemasakannya. Sate misalnya, hanya membutuhkan peralatan yang terdiri dari tusuk bambu, arang, kipas, pisau, dan pemanggang. Bumbu dapat disamakan dengan rempah-rempah yang diperlukan untuk memperoleh cita rasa yang diinginkan dari sebuah menu makanan. Cita rasa yang dimaksud dilihat dari rasa khas pada sebuah atau suku bangsa. Sebagai gambaran, berdasarkan pengalaman penulis di tiga suku bangsa (Minang, Aceh, Sunda), Suku bangsa Minang kerap memasak dengan cita rasa gurih dan pedas, masakan Aceh lebih dominan menggunakan selera gurih asam dan pedas, sementara masyarakat Sunda menyukai rasa gurih, asin manis, dan pedas. Proses pemasakan adalah upaya agar bahan makanan berikut bumbu yang telah diolah menjadi matang dan siap saji.

Definisi matang tergantung dari proses pemasakan yang dapat dilakukan dengan cara direbus, dimasak dengan batu panas, dikukus, dipanggang, digoreng, difermentasi, diawetkan, dimasak di atas api.

Sejarah Sate Maranggi

Sedikit bukti sejarah yang dapat dikemukakan mengenal asal mula sate maranggi. Namun, ada beberapa versi di dalamnya karena sumber sejarah tertulis belum/tidak dapat ditemukan hingga kini. Oleh karena itu, versi yang ada bersumber dari informan, dan pakar kuliner yang meneliti kesamaan bahan dan proses pemasakan antara sate maranggi dengan kuliner sejenis lainnya.

Kata “Maranggi” dalam Sate Maranggi merupakan sebuah nama panggilan yang ditujukan pada seorang penjual Sate Maranggi, yaitu Mak Anggi. dari Jawa Tengah. Sekitar tahun 1960-an, ia berjualan sate dengan menggunakan tenda di daerah tempat tinggalnya, yakni daerah Cianting. Beliau menjajakan sate yang sudah cukup dikenal di daerah tersebut.

Masyarakat atau penyuka sate, pada waktu itu, apabila hendak merasakan sate tersebut akan mengatakan hendak ke sate Mak Anggi. Keseringan menyebutkan nama tersebut membuat sate tersebut dinamakan Sate Maranggi. Tambahan huruf “R” dalam “MaRanggi” digunakan untuk mempermudah pengucapan dalam memberikan nama kuliner tradisional tersebut.

Tidak diketahui secara pasti tanggal berapa nama kuliner Sate Maranggi mulai tenar. Data yang diperoleh dari informan menyebutkan bahwa seorang penjual Sate Maranggi bernama Bustomi Sukmawirdja atau dikenal dengan sebutan Mang Udeng, telah berjualan Sate Maranggi pada tahun 1962 di Kecamatan Plered. Informasi tersebut sekaligus mematahkan permasalahan lokasi asal mula Sate Maranggi yang sebelumnya juga diklaim oleh Kecamatan Wanayasa. Adapun angka tahun awal adanya Sate Maranggi di Wanayasa adalah lebih muda dibandingkan dengan angka tahun informasi keberadaan Sate Maranggi di Plered, yaitu tahun 1970, atau lebih muda 8 tahun. Informasi atau data awal mula adanya penjual Sate di Wanayasa datang dari seorang dengan nama panggilan Mak Unah. Beliau menyebutkan bahwa sekitar tahun 1970 beliau telah berjualan sate. Tidak lantas beliau mengistilahkan dengan nama Sate Maranggi. Beliau hanya menyebutkan Sate Panggang. Dan, beliau juga telah mengetahui bahwa di Plered sebelumnya juga telah ada yang berjualan sate, yaitu Mang Udeng. Daging yang digunakan kala itu berasal dari daging sapi atau kerbau. Mak Unah melanjutkan bahwa, ia memang sebelumnya juga menggunakan bahan daging yang sama (sapi dan kerbau). Sekitar tahun 1965, beliau mencoba menggunakan jenis daging lain dalam racikan bumbunya, yaitu daging domba. Menurut beliau bahwa racikan bumbunya yang dimasak dengan menggunakan daging domba lebih enak jika dibandingkan dengan menggunakan jenis daging yang lain.

Mengkaji dari data sejarah tersebut di atas, antara Wanayasa dan Plered terdapat sebuah sinergi yang mencuatkan nama Maranggi sebuah sebuah kuliner yang kemudian mengemuka dan menjadi ikon Kabupaten Purwakarta. Memang dalam melihat angka tahun, Wanayasa lebih muda dibandingkan dengan Plered. Namun dilihat dari jenis daging yang digunakan membuat kedua daerah tersebut dapat dikatakan sebagai awal mula adanya Sate Maranggi di Kabupaten Purwakarta. Wanayasa merupakan “pencipta” dari Sate Maranggi dengan menggunakan bahan dasar daging domba, sedangkan Plered merupakan “pencipta” Sate Maranggi” dengan menggunakan bahan dasar daging sapi dan kerbau.

Perihal adanya menu daging domba yang belakangan menjadi salah satu menu baru di samping menu terdahulu, yaitu daging kerbau atau sapi diyakini merupakan salah satu perubahan yang cukup signifikan terjadi apabila dilihat dari pola kehidupan masyarakat pada waktu itu. Pemilihan daging kerbau atau sapi sebagai bahan utama pembuatan sate maranggi sekiranya dapat menggambarkan mengenai kehidupan masyarakat pada waktu itu yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Sapi atau kerbau menjadi hewan andalan yang multiguna karena dapat difungsikan untuk membantu membajak sawah, menarik beban berat ataupun dapat difungsikan sebagai tenaga angkutan umum berbentuk gerobak. Oleh karena itu, daging yang biasa dikonsumsi masyarakat pada waktu itu, selain unggas (ayam, bebek) dan ikan, adalah daging kerbau atau sapi . Sehingga wajar apabila bahan daging yang digunakan untuk membuat sate maranggi adalah daging kerbau atau sapi .

Domba yang menjadi bahan pengganti atau varian baru sate maranggi yang muncul kemudian, apabila dilihat dari segi fungsinya banyak mengarah pada fungsi ekonomi. Jangka waktu beranak pinak dan pertumbuhan yang lebih cepat dari pada sapi atau kerbau menjadi satu pilihan favorit bagi peternak untuk memilih domba. Pada kondisi kekinian, selain sebagai salah satu hewan kurban, kulit domba juga memiliki nilai jual cukup tinggi yang digunakan sebagai salah satu bahan industri kreatif.

Perihal bumbu yang digunakan untuk membuat Sate Maranggi di kedua daerah tersebut pada dasarnya adalah sama. Yang menjadi permasalahan adalah ide siapa sehinga terciptalah sebuah racikan khas bumbu Sate Maranggi. Informasi tersebut di atas hanyalah menyebutkan bahwa yang dikatakan sebagai Sate Maranggi telah ada sejak tahun 1962 di Plered tanpa memperinci bahan dan proses pembuatannya.

Seorang juru masak yang cukup terkanal bernama Haryo Pramoe, mengatakan bahwa Sate Maranggi merupakan hasil asimilasi dengan budaya China. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya kesamaan bumbu dan sejarah kuliner di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa Orang China telah datang dan menetap di Indonesia sejak lama. Mereka turut membawa kelengkapan budaya dan diimplementasikan ke dalam kultur Indonesia. Fakta sejarah kuliner seperti awal mula bakso, Mie Ayam, Siomay, dan lain-lain adalah jelas berasal dari masyarakat China di Indonesia. Hal ihwal Sate Maranggi juga demikian halnya. Walaupun ada perubahan dalam media bahan, yaitu daging, cara penyajian dengan menggunakan metode rendam dan siraman bumbu menurut Haryo Pramoe (dalam travel.kompas.com, 2016) berasal dari China. Dibuktikan bahwa bumbu rempah yang digunakan Sate Maranggi, menurut Haryo Pramoe, sama persis dengan dendeng babi dan dendeng ayam yang dijual di Hongkong, China, dan Taiwan. Masyarakat Indonesia, khususnya dua wilayah di Kabupaten Purwakarta (Wanayasa dan Plered) yang memiliki kultur Islam kemudian mengganti jenis daging tersebut dengan daging domba, sapi, dan kerbau untuk dipadukan dengan bumbu yang sama.

Terlepas dari penjelasan Chef Haryo Pramoe di atas, sebuah kuliner yang bernama Sate Maranggi adalah memang sebuah kuliner tradisional. Perihal kesamaan bumbu antara Sate Maranggi dengan bumbu yang telah dikatakan oleh Haryo Pramoe mungkin ada beberapa kesamaan namun dilihat dari cara pengolahan, proses pemasakan dan cara penyajian adalah jelas berbeda dengan kuliner yang dijelaskan oleh Haryo Pramoe. Secara keseluruhan, Sate Maranggi memang menarik baik dari rasa maupun cara penyajian sehingga wajar jika Sate Maranggi menjadi kuliner khas sekaligus menjadi ikon Kabupaten Purwakarta.

Pedagang sate maranggi biasanya dilakukan oleh laki-laki usia dewasa hingga tua. Ngider atau berkeliling adalah hal yang biasa dilakukan oleh penjual sate maranggi pada zaman dahulu untuk menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki. Mempersiapkan bahan jualan dilakukan pada malam hari dan mulai berdagang mulai pagi hingga petang. 

Seperangkat peralatan yang wajib dibawa adalah alat panggangan yang terdiri dari hihid, wadah arang, dan arang itu sendiri. Selain itu, turut dibawa pula beberapa buah piring dan gelas serta satu ember kecil berisi air untuk membersihkan piring yang telah dipakai konsumen. Air minum biasanya air teh tawar yang dibawa dengan menggunakan teko alumunium juga disediakan. Dan, bahan utama yang dibawa bumbu kecap, satu set sate yang telah siap panggang, dan nasi yang dibungkus dengan daun pisang.

Bahan dagangan yang telah disiapkan ditaruh pada dua kotak besar untuk kemudian dipikul dengan menggunakan sebilah bambu. Kotak besar yang dimaksud berbentuk khas dan mencirikan bahwa itu adalah kotak untuk berdagang sate maranggi. Terbuat dari beberapa jenis bahan, yaitu rotan, kayu, dan papan. Kayu dan papan digunakan untuk membuat kotaknya, sedangkan rotan digunakan untuk pembuatan alat yang berfungsi sebagai pengait agar dapat dipikul.

Rute yang dilalui untuk berjualan sate maranggi biasanya tetap, dan akan berhenti pada satu lokasi yang biasa menjadi tempat konsumen biasa membeli sate maranggi. Apabila tidak ada yang membeli, selang beberapa saat, penjual sate maranggi akan berangkat menuju titik selanjutnya. Pola tersebut biasanya bertahan cukup lama dalam berjualan. Adapun titik pemberhentian penjual sate maranggi yang baru biasanya apabila ada 1 Kipas tradisional masyarakat suku sunda keramaian, seperti pasar malam, panggung pertunjukan, dan lain-lain yang berbentuk kerumunan massa. Walaupun diperkirakan akan banyak pembeli, namun apabila lokasi kerumunan massa tersebut dirasa cukup jauh, penjual sate maranggi lebih memilih untuk tidak menuju pada titik tersebut. Hal tersebut disebabkan transportasi yang digunakan untuk mengangkut alat berjualan pada waktu itu sangat susah.

Saat ini, pola berjualan ngider "berkeliling‟ sudah mulai langka. Walaupun sudah langka, kita masih dapat menjumpainya dan biasanya hanya ada di tempat-tempat hiburan, sarana rekreasi, dan taman. Salah satu tempat favorit bagi para “pengidersate maranggi adalah di Situ Buleud yang terletak di tengah ibukota Kabupaten Purwakarta. Alun-alun Mesjid Agung Purwakarta juga menjadi salah satu tempat mangkal dari para penjual sate maranggi. Satu bentuk perubahan yang belum terlihat dari perubahan pola penjualan sate maranggi adalah cara ngider menggunakan sepeda motor yang saat ini sudah biasa dilakukan oleh penjual sate padang.

Sebagai ganti dari pola penjualan dengan cara ngider, bagi mereka yang memiliki modal lebih besar, kini lebih menyukai pola penjualan menetap. Warung atau kios kecil kini menjadi salah satu ciri dari penjual sate maranggi. Plered menjadi sentra terbesar dari penjual sate maranggi dengan pola mangkal atau menetap tersebut. Jalan utama memasuki wilayah Plered kini telah banyak berjejer warung-warung sate maranggi.

Kekhasan dari Cara Pembuatan hingga Penyajian

Pemilihan bahan, proses, dan cara penyajian kuliner sate maranggi tidak menggunakan unsur ritual tertentu. Hanya ada doa-doa dalam agama Islam saja yang menyertai dalam tahap awal hingga akhir pembuatan sate maranggi. Hal ini dapat dilihat dari kemunculan atau awal terlihatnya penjualan sate maranggi sekitar tahun 1962-an. Sebuah angka tahun yang tergolong baru untuk sebuah kuliner yang biasa dibuat sesajen, dan dalam tahap pembuatannya juga harus menggunakan upacara atau ritual tertentu. Berbeda halnya dengan nasi kuning ataupun bakakak hayam yang sudah ada jauh sebelum kemunculan sate maranggi.

Di Purwakarta, ada beberapa kawasan atau wilayah yang memiliki perbedaan dalam mengolah atau menyajikan sate maranggi. Beberapa wilayah dimaksud di antaranya wilayah Plered, Bojong, Wanayasa, dan Cibungur. Meskipun tidak begitu mencolok, perbedaan ini merupakan bagian dari pelestarian yang dituangkan dalam bentuk kreativitas untuk meningkatkan omzet penjualan sate maranggi. Dengan demikian, ada beberapa bagian dari prosedur pembuatan dan penyajian sate maranggi yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya dalam lingkup Kabupaten Purwakarta.

1. Peralatan

a. Peralatan Memanggang 

Secara garis besar sate merupakan sajian yang dihasilkan dari jenis pengolahan dengan cara dipanggang. Oleh karena itu, peralatan pokok yang dibutuhkan adalah tempat panggangan, arang, dan kipas (hihid ataupun kipas angin). Ukuran tempat panggangan bervariasi mulai dari yang terkecil sekitar 30-40 cm hingga yang terbesar mencapai 1,5 meter. Tingkatan ukuran alat panggangan tersebut didasarkan oleh omzet penjualan mulai dari skala kecil hingga skala besar. Ukuran terbesar dari hasil pengamatan yaitu di rumah makan sate maranggi milik Hj. Yetty yang berukuran sekitar 1,5 m. Ukuran terkecil biasa dipakai oleh para penjual sate maranggi keliling yaitu sekitar 30 cm. Kipas digunakan untuk membantu hembusan angin yang mempercepat proses pematangan sate maranggi. Dua jenis kipas yang digunakan untuk proses tersebut adalah kipas manual (tenaga manusia), dan kipas listrik. Kipas manual atau orang sunda biasa menyebut dengan istilah hihid merupakan sebuah peralatan tradisional yang terbuat dari bambu yang dianyam hingga membentuk sebuah lembaran berukuran 25-30 cm. Lembaran dari hasil anyaman tersebut kemudian diberi gagang dan diikat. Proses untuk mengipasi sate maranggi dilakukan dengan mengayunkan kipas kekiri dan kekanan. Proses tersebut menghasilkan angin dari dua arah. Terkadang penjual sate membolakbalikkan sate untuk memastikan agar sate matang merata. Cara tersebut menghasilkan tingkat kematangan yang merata baik dari sisi kiri maupun kanan. Hanya saja proses yang menggunakan tenaga manusia sangat sulit untuk melakukan proses pematangan sate maranggi dalam jumlah yang cukup banyak. Kipas bertenaga listrik adalah jawabannya. Cara kerjanya cukup menyalakan kipas kemudian ia hanya bertugas membolak-balikkan sate agar pematangan merata. Kipas listrik yang digunakan memiliki ukuran bervariasi mulai dari yang terkecil hingga terbesar. Kipas listrik berukuran kecil biasanya digunakan oleh warung makan yang menjual sate maranggi, sementara kipas berukuran besar digunakan untuk rumah makan, misalnya, sekelas Rumah Makan Sate Maranggi milik Hj. Yetty. Sebuah rumah makan yang memiliki omzet hingga 2 kuintal daging perhari. Dengan demikian kipas yang digunakan harus memiliki ukuran yang cukup besar.

Alat pemanggang sate maranggi, sebagai peralatan pokok penjual sate maranggi, berbentuk persegi panjang dengan ukuran yang sesuai kapasitas sate yang akan dipanggang. Penjual sate keliling atau warung-warung kecil menggunakan alat panggang sate berukuran sekitar 15 cm x 40 cm. Sementara untuk warung atau rumah makan besar, ukuran yang dipergunakan dapat mencapai sekitar 20 cm x 1,5 m.

Arang turut menjadi bagian dalam proses pemanggangan sate maranggi. Jenis arang yang digunakan penjual biasanya berasal dari arang kayu. Jenis lain dari arang adalah arang tempurung kelapa, namun tidak dapat digunakan karena bentuknya yang pipih dan cepat membara. Hal ini akan berakibat sate yang dipanggang hanya akan matang pada bagian luarnya saja.

Hembusan angin dari kipas membuat bara hanya ada pada bagian dari atas, kiri, dan kanan. Untuk meratakan bara api digunakan sepotong besi berukuran 40 – 50 cm dengan pegangan pada bagian ujungnya. Cara kerja alat tersebut adalah dengan menusuk-nusuk dan membolak balikkan arang yang masih belum terbakar pada bagian bawahnya. Apabila menggunakan hihid, biasanya gagang hihid juga berfungsi sebagai alat untuk meratakan bara panggangan sate.

Pada rumah makan berskala besar, proses memanggang memerlukan arang dalam jumlah banyak. Peralatan yang digunakan untuk membawa arang ke dalam panggangan di antaranya sekop dan gayung. Kedua alat tersebut terbuat dari logam.

b. Peralatan Makan dan Minum

Berbeda antara pedagang sate maranggi keliling dengan menetap. Pedagang sate maranggi keliling hanya menyediakan seperangkat piring dan gelas seadanya. Sangat jarang mereka menyediakan sendok dan garpu karena cara makan sate biasanya menggunakan tangan saja. Tidak lupa satu ember kecil berisi air yang digunakan untuk membersihkan peralatan makan minum yang telah dipakai pembeli. Satu teko alumunium berukuran kecil juga dibawa dan telah diisi dengan air teh tawar.

Berbeda halnya dengan pedagang sate maranggi menetap, baik dalam bentuk warung ataupun rumah makan. Sejumlah besar peralatan makan minum akan disediakan.pedagang. Ada juga pedagang sate maranggi yang turut menyediakan menu tambahan (makan dan minum) selain menu utama, yaitu sate maranggi. Ukuran dan bentuk peralatan makan minum (piring dan gelas) rata-rata sama. Perbedaannya hanya pada bahannya. Ratarata pedagang sate maranggi menyediakan peralatan makan dan minum yang terbuat dari kaca. Sebagian kecil khususnya pada peralatan makan (piring) saat ini ada juga yang menggunakan anyaman rotan. Hal ini tidak lebih dari sekedar strategi agar pembeli tidak memindahkan nasi terbungkus daun pisang ke dalam piring, yang berakibat pedagang harus mencuci piring agar dapat digunakan kembali. Piring dari anyaman rotan mengharuskan pembeli untuk menyantap hidangan tanpa harus membuang daun pisang.

c. Peralatan Meracik

Tidak banyak peralatan meracik yang digunakan dalam pembuatan sate maranggi. Sate maranggi adalah sebagaimana sate secara umum, yaitu irisan atau potongan daging yang ditusuk dan dipanggang, tentunya memerlukan tusukan sate. Tusukan sate terbuat dari bilah bambu sepanjang 15-20 cm dengan diameter 1-2 mm, dan makin meruncing pada salah satu ujungnya. Setengah dari panjang bilah bambu tersebut digunakan untuk irisan daging dan setengahnya lagi digunakan sebagai pegangan. Balastrang (baki) diperlukan untuk menaruh sate maranggi yang siap untuk dipanggang. Ukuran balastrang bermacam-macam sesuai dengan keperluan atau jumlah sate maranggi yang akan dipanggang.

Alat penggerus bahan juga diperlukan untuk menggerus bumbu balur sate maranggi sebelum memasuki tahap pemanggangan. Biasanya alat yang digunakan terbuat dari batu. Pisau juga diperlukan untuk meracik bahan-bahan semisal daun pisang, daun pepaya, cabe, dan lain-lain.

2. Bahan dan Pengolahan

Ada dua bagian besar yang diperlukan dalam pembuatan sate maranggi, yaitu bahan utama dan bahan bumbu. Bahan utama tidak lain adalah daging sedangkan bahan bumbu adalah bahan yang digunakan untuk menghasilkan rasa khas sate maranggi.

a. Pengolahan Bahan Utama (Daging) Sate Maranggi

Daging sebagai bahan utama terdiri dari dua jenis, yaitu daging sapi dan daging domba. Dua jenis daging tersebut memiliki wilayah mayoritas penjual. Runutan perjalanan kuliner sate maranggi, menyatakan bahwa jenis daging yang dipilih pertama kali adalah daging sapi, sementara daging domba ada setelah beberapa tahun kuliner sate maranggi itu ada. Wilayah mayoritas penjual yang memilih daging sapi ada di wilayah Plered, sedangkan daging domba mayoritas di pilih oleh penjual di wilayah Pasawahan hingga Wanayasa. Dan, Wanayasa memang telah menyajikan daging doba sebagai bahan utama sate maranggi sejak dahulu.

Pemilihan dua jenis daging tersebut saat pertama dilakukan hanyalah berdasarkan atas cita rasa yang mengena di kedua wilayah tersebut. Kekinian, dengan adanya sedikit pengetahuan tentang dunia medis maka ditambahkanlah pertimbangan, khususnya daging domba yang dikatakan memiliki kadar kolesterol lebih tinggi, sehingga penjual di wilayah Plered lebih memilih daging sapi.

Daging sebagai bahan utama, dalam arti sebenarnya bukanlah daging dengan kandungan 100 persen. Dalam satu tusuk sate setidaknya ada satu atau dua potong lemak dari keseluruhan potongan yang rata-rata berjumlah empat iris. Dari pengamatan terhadap beberapa sentra sate maranggi, besar irisan daging rata-rata sama, kecuali pada pedagang keliling yang biasanya irisannya lebih kecil. Lain halnya dengan jeroan (lemak). Sate maranggi biasanya tidak menyertakan jeroan dalam setiap tusuknya. Berbeda dengan jenis sate lainnya yang terkadang menyertakan satu atau dua potong jeroan dalam setiap tusuknya.

Sebelum proses memasukan irisan daging ke tusukan, terlebih dahulu dilakukan proses pengempukan dan pencampuran bumbu. Dan, kedua proses inilah yang menjadi kekhasan sate maranggi. Pengempukan daging dilakukan dengan cara membungkus seluruh irisan daging dengan daun pepaya dan didiamkan selama kurang lebih tiga jam. Setelah itu, irisan daging yang telah empuk kemudian diberi bumbu penyedap yang terdiri dari gula merah dan garam. Prosesnya, gula merah dan garam dilumatkan hingga menyatu kemudian campur dan adukkan ke dalam irisan daging hingga merata. Selesai pemberian bumbu, dilakukanlah proses memasukkan irisan daging ke dalam tusukan satu persatu. Kumpulan tusuk sate tersebut ditaruh di dalam balastrang „baskom‟ dan siap dipanggang.

b. Pengolahan nasi timbel

Nasi timbel terdiri dari dua kata, yaitu : nasi” dan “timbel”. Pengertian nasi adalah sama dengan definisi yang umum digunakan, yaitu hasil dari proses pemasakan padi. Sementara timbel adalah alat bungkus nasi yang menggunakan daun pisang. Walaupun sama dengan definisi secara umum, apabila dua kata kuliner tersebut digabung, yaitu nasi timbel, maka proses pemasakan nasi biasanya masih menggunakan cara tradisional yaitu dua kali proses pemasakan. Sementara cara modern hanya satu kali proses pemasakan. Jenis daun yang digunakan pada nasi timbel dari jenis daun pisang tertentu. Biasanya menggunakan daun pisang yang tidak mudah robek dan cepat kering. Kriteria tersebut biasanya akan mengarah pada daun pisang manggala . Saat ini, pohon pisang manggala sudah semakin sulit ditemukan sehingga penjual akan mencari jenis daun pisang lainnya untuk dipakai sebagai pembungkus pada nasi timbel.

c. Pengolahan Kuah

Ada dua jenis kuah yang menjadi penambah rasa pada sate maranggi, yaitu kuah kacang dan kuah kecap. Dua jenis kuah tersebut biasa disajikan di warungwarung sate daerah Plered. Sementara sentra sate maranggi lainnya, yaitu Cibungur dan Wanayasa (termasuk Pasawahan) kebanyakan hanya menyajikan kuah kacang. Bahan dan pengolahan kuah kacang dan kecap berbeda antara satu sama lain.

- Kuah Kacang

Bahan yang diperlukan untuk membuat kuah kacang terdiri dari: kacang tanah, cabe merah, bawang putih, kemiri, dan daun salam. Jumlah bahan tergantung dari banyaknya sate yang akan dijual. Proses pengolahan pertama adalah membuang kulit bawang putih untuk kemudian langsung ditumis bersama dengan seluruh bahan. Penumisan menggunakan media minyak goreng. Tidak perlu terlalu lama proses penumisan. Cukup ditandai dengan bau harum yang keluar saat penumisan, maka seluruh bahan tadi langsung diangkat dan dimasukan ke dalam cobek untuk digerus. Cara penggerusan terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah menggerus cabe merah, bawang putih, kemiri, dan daun salam. Seluruh bahan digerus sampai halus. Setelah halus, masuk ke tahap kedua, yaitu masukkan kacang tanah kemudian digerus namun tidak sampai lumat (halus). Setelah dirasa pas hasil gerusan, masukkan ke dalam wajan yang telah berisi sedikit minyak goreng. Goreng dan aduk-aduk kuah kecap tersebut hingga mendidih.

- Kuah Kecap

Hampir sama dengan kuah kacang, kuah kecap juga memerlukan proses perebusan dalam cara pengolahannya, Adapun bahan yang diperlukan terdiri dari: bawang merah, tomat, Cabe rawit, bumbu penyedap, dan kecap. Jumlah seluruh bahan tergantung dari jumlah sate yang akan dijual. Proses pengolahan pertama dalam pembuatan kuah kecap adalah dengan mengupas bawang merah dan memotong kasar seluruh bahan, kecuali tomat dan kecap. Setelah itu, gerus seluruh bahan (kecuali tomat dan kecap) sampai benar-benar halus. Proses ketiga adalah memasukkan seluruh bahan ke dalam wajan yang telah berisi minyak goreng untuk ditumis. Aduk-aduk selama proses penumisan agar seluruh bahan tercampur rata. Setelah mengeluarkan bau harum, angkat dan jadilah kuah kecap.

d. Pengolahan Acar

Sepertinya setiap penjual sate maranggi baik di berbagai sentra sate maranggi maupun pada pedagang keliling selalu menyediakan acar. Dan, memang demikian kenyataannya bahwa sajian acar seakan menjadi sajian pendamping yang wajib bagi setiap penjual sate maranggi. Belum diketahui memang, awal mula penyajian acar pada sate maranggi namun dapat diyakini bahwa unsur penyeimbang rasa antara rasa sate (apapun) yang terlapisi oleh lemak (basa) tentunya memberikan rasa gurih (terlalu) dan harus dilawan dengan rasa acar yang segar dan asam.

Kondisi kekinian, ada unsur medis yang menjadi penambah alasan mengapa acar selalu tersedia sebagai sajian pendamping dari sate maranggi. Walaupun demikian, pertimbangan medis dari kandungan kolesterol yang ada pada daging hanyalah sekilas pandangan dan wacana yang belum dapat dibenarkan secara akurat. Apalagi, dalam setiap penyajian sate maranggi, kerap dijumpai acar mentimun dan wortel yang sudah jelas menjadi penyeimbang dari rasa gurih lemak sekaligus kadar kolesterol baik pada daging sapi maupun daging domba.

Sajian pendamping tersebut memang kerap ada. Jawaban dari sang penjual biasanya memang terjadi begitu saja sementara mereka tidak mengerti betul fungsi medis dari sajian pendamping tersebut. Berdasarkan pengalaman penulis, mungkin ada sedikit persamaan dengan kuliner pada masyarakat Aceh yaitu sajian segelas air es yang ditambah parutan mentimun sebagai sajian pendamping dari kuliner gule kameng (Gulai Kambing).

Nuansa rasa segar yang memang tersaji pada acar diperoleh dari bahanbahan, yaitu: Bawang merah, Cabe rawit, Mentimun, Wortel, Gula pasir, Garam, dan Cuka makan. Proses pengolahan untuk membuat acar cukup mudah. Pertama, Bawang merah dan wortel dikupas kulitnya. Setelah itu bersama mentimun, lalu dipotong kecil-kecil dengan ukuran yang hampir sama. Tabur dan aduk gula pasir, garam, dan cuka ke dalam potongan-potongan bahan tersebut hingga merata.

e. Pengolahan Sambal Tomat

Agak sedikit berbeda memang sajian pendamping yang satu ini karena hanya ada satu lokasi yang sengaja menyajikannya, yaitu warung sate maranggi Hj. Yetty di Cibungur. Bahan yang digunakan mudah diperoleh dan mudah pula cara pembuatannya. Adapun bahan yang diperlukan adalah: Cabe rawit, Tomat merah, Garam, dan Gula putih. Cabe rawit, garam, dan gula putih digerus kasar lalu tambahkan tomat merah yang telah diiris dan aduk hingga rata. Karena menggunakan bahan mentah, daya tahan sambal tomat tidak terlalu lama. Oleh karena itu, proses pembuatan dilakukan begitu ada pesanan.

3. Penyajian

Pola penyajian khas sate maranggi mengalami pergeseran antara bentukan awal dengan kondisi kekinian. Imbas dari pergeseran pola penyajian adalah dari jumlah sate maranggi yang dipanggang. Saat ini, jumlah sate yang dipanggang ratarata tergantung dari jumlah pesanan. Berbeda dengan era tahun 1970-an, sate yang dipanggang ditaruh di balastrang dalam jumlah secukupnya. Pembeli tinggal mengambil sate yang ditaruh dalam balastrang tersebut. Apabila dirasa sudah dingin, pembeli tinggal meminta penjual untuk menghangatkannya lagi. Setelah selesai bersantap, penjual menghitung jumlah tusuk sate yang ditaruh di dalam piring pembeli untuk kemudian dikalikan dengan harga pertusuknya.

Pergeseran yang terjadi bersifat masih parsial. Dengan kata lain, masih ada penjual sate maranggi yang menggunakan pola lama, yaitu menaruh dalam balastrang seperti yang masih dilakukan pada para penjual sate maranggi di Kampung Maranggi Plered. Namun, hal tersebut berlaku bagi pembeli yang sudah tahu mengenai tata cara penyajian khas sate maranggi. Bagi pembeli yang belum mengetahui tata cara tersebut, biasanya ia akan menanyakan harga per porsi. Dan, sang penjualpun akan menjawabnya dengan nominal yang telah disepakati bersama oleh sesama penjual sate di kampung maranggi Plered.

Perubahan pola penyajian yang sepenuhnya terjadi adalah di warung sate maranggi Hj. Yetty. Pola penyajian sudah seperti rumah makan pada umumnya. Ada menu makanan yang sudah tersedia di setiap meja. Memang selain sate maranggi sebagai menu utama, ada beberapa menu tambahan dari beberapa counter hasil kerjasama dengan kerabat Hj. Yetty.

Pola penyajian sate maranggi milik Hj. Yetty agak sedikit berbeda dengan pola penyajian di Kampung Maranggi Plered. Dengan arsitektur unit penjualan sate maranggi yang khas, pembeli yang sudah mengenal pola penjualan akan mendatangi  dan duduk di kursi yang tersedia. Penjual pun langsung bereaksi mengambil beberapa tusuk sate dan memanggangnya. Setelah matang, sate ditaruh dalam balastrang kemudian langsung diambil pembeli yang sebelumnya telah membuka satu timbel. Kuah kecap dan kacang sudah tersedia. Pembeli tinggal memilih di antara dua jenis kuah tersebut sebagai penambah rasa kuliner sate maranggi.

Tata cara makan adalah dengan mengambil satu tusuk sate kemudian mencelupkan ke dalam kuah. Tidak boleh mencelupkan sate lebih dari satu kali. Jadi, setelah mencelupkan ke dalam kuah, sate langsung ditaruh ke dalam nasi timbel dan dimakan. Apabila hendak dicampurkan dengan nasi, telah tersedia sendok pada kedua kuah tersebut. Pembeli tinggal mengambil beberapa sendok dan menuangkannya ke dalam nasi.

Sendok memang telah disediakan pada tiap-tiap lapak sate di Kampung Maranggi, namun kebiasaan memakan sate maranggi adalah dengan jari tangan. Secara bergantian, setelah satu suapan biasanya langsung mengambi satu tusuk sate dan menggigit satu atau dua iris daging. Bagi yang hendak menambah nasi, daun pisang bekas timbel sebelumnya akan dikeluarkan dari piring dan digantikan dengan timbel yang baru. Atau, dapat juga dilakukan dengan cara menumpuk timbel yang baru di atas daun pisang sisa timbel sebelumnya.

Bekas tusuk sate maranggi kemudian ditaruh di atas/samping daun timbel. Pembeli yang telah selesai bersantap kemudian menanyakan nominal yang harus dibayarkan. Penjual kemudian langsung mengambil tusuk sate bekas pakai, sambil melihat jumlah daun bekas timbel. Nominal ditentukan cara :

  • Jumlah tusuk sate x harga (Rp. 1.500)
  • Jumlah daun timbel x harga (Rp. 2.000)

Terkadang ada juga pembeli yang hendak menyantap sate maranggi di rumah atau di tempat lain. Ia kemudian meminta 2 Harga satuan yang tercatat pada tahun 2016 kepada penjual untuk membungkus sate maranggi. Jumlah sate tergantung permintaan pembeli. Namun demikian, jumlah yang biasa dipesan adalah per porsi yaitu 10 tusuk sate maranggi. Kuah sate bisa dicampur langsung ke dalam satu bungkus atau dapat juga dipisahkan dengan menggunakan kantong plastik kecil. Setelah sesampainya di rumah, biasanya mereka akan segera menyantap sate maranggi yang masih hangat. Apabila dingin atau dibiarkan seharian, menurut Pitasari akan mengalami penurunan mutu yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme (bakteri dan kapang) sehingga menyebabkan timbulnya bau yang kurang enak (tengik), serta terbentuknya lendir, gas, warna, asam dan toksin.

Demikian artikel mengenai Sate Maranggi Kuliner Khas Kabupaten Purwakarta, mudah-mudahan bermanfaat untuk kita semuanya. Sekian dan terimakasih.

Komentar0

Tinggalkan komentar Anda disini:

Type above and press Enter to search.