MlatenMania.com - Pariwisata adalah suatu gejala sosial yang sangat kompleks, yang menyangkut manusia seutuhnya dan memiliki berbagai aspek : siosiologis, psikologis, ekonomis, ekologis, dan sebagainya. Aspek yang mendapat perhatian yang paling besar dan hampir-hampir merupakan satu-satunya aspek yang dianggap penting ialah aspek ekonominya. Dalam hubungan dengan aspek ekonomis dari pariwisata ini, orang telah mengembangkan konsep "industri pariwisata".
Kegiatan pariwisata adalah suatu kegiatan kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorfose dalam berbagi aspeknya.
Sejarah Munculnya Pariwisata
Gejala pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu tempat ke tempat lain dan perkembangannya sesuai dengan sosial budaya masyarakat itu sendiri. Semenjek itu pula ada kebutuhan-kebutuhan manausia yang harus dipenuhi selama perjalannya, disamping juga adanya motivasi yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan meningkatknya peradaban manusia, didorong untuk melakukan perjalanan semakin kiat dan kebutuhan yang harus dipenuhi semakin kompleks.
Motivasi perjalanan dari jaman ke jaman berbeda-beda tingkatnya, sesuai dengan perkembangan dan tingkat sosial budaya, ekonomi dan lingkungan dari masyarakat itu sendiri. Motivasi dan motif perjalanan masyarakat pada jaman pra sejarah berbeda dengan motivasi dan motif perjalanan masyarakat pada jaman modern. Cara perjalanan dan fasilitas yang digunakan masyarakat masih sederhana kalau dibandingkan dengan masyarakat yang lebih maju.
Menurut beberapa ahli, pariwisata telah dimulai sejak dimulainya peradaban manusia itu sendiri dengan ditandai oleh adanya pergerakkan penduduk yang melakukan ziarah dan perjalanan agama lainnya, disamping digerakkan oleh perasaan lapar, haus, perasaan ingin tahu, perasaan takut, gila kehormatan dan kekuasaan.
World Tourism Organization (WTO), secara sepintas membagi perkembangan atau sejarah pariwisata ini ke dalam 3 (tiga) jaman, yakni:
- Jaman kuno;
- jaman pertengahan; dan
- Jaman modern.
A. Jaman Kuno
Pariwisata pada jaman kuno, ditandai oleh motif perjalanan yang masih terbatas dan sederhana, yaitu:
- Adanya dorongan karena kebutuhan praktis dalam bidang politik dan perdagangan, dambaan ingin mengetahui adat istiadat dan kebiasaan orang lain atau bangsa lain;
- Sarana dan fasilitas yang digunakan selama perjalanan pada zaman kuno inipun masih sederhana. Alat angkut dengan menggunakan binatang, seperti kuda, onta atau perahu-perahu kecil yang menyusuri pantai merupakan alat transportasi yang paling populer. Akan tetapi, perjalanan dengan jalan kaki untuk menempuh jarak berpuluh-puluh atau beratus-ratus kolometer paling banyak dilakukan; dan
- Badan organisasi yang mengatur jasa-jasa perjalanan pada jaman itu belum ada. Pengaturan perjalanan ditentukan secara individu, baik oleh perorangan atau kaum-kaum. Akomodasi yang digunakan masih sederhana. Para pelancong membangun tenda-tenda sendiri atau tinggal di rumah-rumah saudagar, ppemuka-pemuka masyarkat, pemuka agama atau tempat-tempat beribadah, seperti masjid dan gereja. Akomodasi yang dikelola secara komersil pada jaman itu belum ada.
B. Jaman Pertengahan
- Motivasi dan motif perjalanan pada abad pertengan lebih luas dari motivasi dan motif perjalanan pada jaman kuno. Disamping motif untuk keperluan perdagangan, keagamaan, dan dambaan ingin tahu, pada masa ini telah berkembang motif untuk tujuan yang berhubungan dengan kepentingan negara (misson) dan motif untuk menambah pengetahuan;
- Para pedagang tidak lagi melakukan pertukaran scara barter. Para pedagang cukup dengan membawa contoh barang yang ditawarkan melalui pekan-pekan raya perdagangan;
- Untuk menjaga hubungan antar negara, baik negara penjajah maupun yang dijajah atau negara merdeka, dilakukan saling kunjungan petugas-petugas negara;
- Pada jaman pertengahan telah ada perguruan-perguruan tinggi seperti Al Azhar di Kairo, di Paris, Roma, Salamanca dan sebagainya. Para mahasiswa dari berbagai negara melakukan kunjungan ke universitas-universitas ini untuk menambah atau memperdalam pengetahuannya dengan mendengarkan kuliah-kuliah yang diberikan oleh para guru besar;
- Dengan semakin banyaknya yang melakukan perjalanan antar negara, berbagai negara mulai mengeluarkan peraturan-peraturan guna melindungi kepentingan negara, penduduknya serta kepentingan para wisatawan;
- Akomodasi yang bersifat komersil mulai bermunculan waluapun masih sederhana. Demikian pula restoran-restoran yang menyediakan makanan untuk keperluan para pelancong; dan
- Alat angkut tidak hanya dengan menunggang kuda, keledai dan onta, tetapi telah meningkat dengan menambah kereta yang ditarik kuda atau keledai. Angkutan laut telah menggunakan kapal-kapal yang lebih besar.
C. Jaman Modern
- Perkembangan pariwisata pada jaman modern, ditandai dengan semakin beraneka ragamnya motif dan keinginan wisatawan yang harus dipenuhi sebagai akibat meningkatnya budaya manusia;
- Formalitas atau keharusan para pelancong untuk membawa identitas diri bila mengunjungi suatu negara mulai diterapkan;
- Tempat-tempat penginapan (akomodasi) yang dikelola secara komersil tumbuh dengan subur. Fasilitas yang digunakan semakin lengkap;
- Timbulnya renovasi industri di negara-negara Barat telah menciptakan alat angkut yang sangat penting dalam pekermbangan pariwisata. Deiketmukannya mesin uap, mulai diperkenalkannya angkutan kereta api dan kapal uap, dan dan menggantikan alat angkut yang menggunakan binatang;
- Perkembangan selanjutnya ditemukannya alat angkut yang menggunakan mesin motor, yang jauh lebih cepat dan fleksibel dalam angkutan melalui darat. Teknologi mutakhir yang sangat penting dalam jaman modern adalah dengan digunakannya angkutan udara yang dapat menempuh jarak jauh dalam waktu yang lebih cepat; dan
- Sejak pemulaan abad meodern, ditandai pula oleh adanya badan atau organisasi yang menyusun dan mengatur perjalanan.
Munculnya Pariwisata Di Indonesia
Dalam sejarah Nusantara, diketahui bahwa kebiasaan mengadakan perjalanan terlah dijumpai sejak lama. Dalam buku Nagara Kartagama, pada abad XIV, Raja Hayam Wuruk dilaporkan telah mengelilingi Majapahit dengan diikuti oleh para pejabat negara. Ia menjelajahi daerah Jawa Timur dengan mengendarai pedati. Pada awal abad XX, Susuhunan Pakubuwono X dikenal sebagai raja yang sangat suka mengadakan perjalanan. Hampir setiap tahun beliau mengadakan perjalanan ke Jawa Tengah sambil memberikan hadiah berupa uang. Dalam tradisi kerajaan Mataram, raja atau penguasa daerah harus melakukan unjuk kesetiaan pada keraton dua kali setiap tahunnya, sambil membawa para pejabat, pekerja yang mengangkut logistik dan barang persembahan untuk raja. Dari sinilah, Pariwisata Indonesia terus berkembang sesuai dengan keadaan politik, sosial, dan budaya masyarakatnya. Kemajuan pesat pariwisata Indonesia sendiri tidak lepas dari usaha yang dirintis sejak beberapa dekade yang lalu, Menurut Yoeti (1996:24), berdasarkan kurun waktu perkembangan, sejarah pariwisata Indonesia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) periode penting, yaitu:
A. Masa Penjajahan Belanda
Kegiatan kepariwistaan masa penjajahan Belanda dimulai secara resmi sejak tahun 1910-1912 setelah keluarnya keputusan Gubernur jenderal atas pembentukan Vereenenging Toeristen Verkeer (VTV) yang merupakan suatu biro wisata atau tourist bereau pada masa itu.Saat itu kantor tersebut digunakan pula oleh maskapai penerbangan swasta Belanada KNILM (Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtfahrt Maatschapijj). yang memegang monopili di kawasan Hindia Belanda pada saat itu.
Meningkatnya perdagangan antar benua Eropa, Asia dan Indonesia pada khususnya, meningkatkan lalu lintas manusia yang melakukan perjalanan untuk berbagai kepentingan masing-masing. Untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik untuk mereka yang melakukan perjalanan ini, maka didirikan untuk pertama kali suatu cabang Travel Agent di Jalan Majapahit No. 2 Jakarta pada tahun 1926 yang bernama Lissone Lindeman (LISLIND) yang berpusat di Belanda. Sekarang tempat tersebut digunakan oleh PT. NITOUR.
Tahun 1928 Lislind berganti menjadi NITOUR (Nederlansche Indische Touristen Bureau) yang merupakan bagian dari KNILM. Saat itu kegiatan pariwisata lebih banyak didominasi oleh kulit putih saja, sedangkan bangsa pribumi sangat sedikit bahkan dapat dikatakan tidak ada. Perusahaan berjalanan wisata saat itu tidak berkembang karena NITOUR dan KNILM memegang monopoli.
Pertumbuhan hotel di Indonesia sesungguhnya mulai berkembang pada abad ke-19 ini, meskipun terbatas pada beberapa kota seperti di Batavia; Hotel Des Indes, Hotel Der Nederlandean, Hotel Royal, dan Hotel Rijswijk. Di Surabaya berdiri pula Hotel Sarkies, Hotel Oranye, di Semarang didirikan Hotel Du Pavillion, kemudian di Medan Hotel De Boer, dan Hotel Astoria, di Makassar Hotel Grand dan Hotel Staat. Fungsi hotel saat itu lebih banyak digunakan untuk tamu-tamu dari penumpang kapal laut dari Eropa. mengingat belum adanya kendaraan bermotor untuk membawa tamu-tamu tersebut dari pelabuhan ke hotel dan sebaliknya, maka digunakan kereta kuda serupa cikar.
Memasuki abad ke-20, mulailah perkembangan usaha akomodasi hotel ke kota lainnya seperti Palace Hotel di Malang, Stier Hotel di Solo, Hotel Van Hangel, Preanger dan Homann di Bandung, Grand Hotel di Yogyakarta, Hotel Salak di Bogor. Setelah kendaraan bermotor digunakan dan jalan raya sudah berkembang muncul pula hotel baru di kota lainnya seperti : Hotel Merdeka di Bukittinggi, Hotel Grand Hotel Lembang di luar kota Bandung, kemudian berdiri pula di Dieng, Lumajang, Kopeng, Tawang Mangu, Prapat, Malino, Garut, Sukabumi, disusul oleh kota-kota lainnya.
B. Masa Pendudukan Jepang
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, masa pendudukan Jepang tercatat sebagai masa yang pedih dan sulit. Ketakutan, kegelisahan merajalela, paceklik, perampasan harta oleh tentara Jepang membuat dunia kepariwisataan Nusantara mati. Banyak sarana dan prasarana publik dijadikan sarana untuk menghalangi masuknya musuh dalam suatu wilayah, obyek wisata terbengkalai dan tidak terurus. Banyak hotel yang diambil alih oleh Jepang dan diubah fungsi untuk keperluan rumah sakit, asrama, dan hotel-hotel yang lebih bagus disita untuk ditempati para perwira Jepang.
C. Setelah Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia merdeka, dunia kepariwisataan Indonesia mulai merangkak lagi. Meskipun pemerintahan Indonesia baru berdiri, namun pemerintah Indonesia waktu itu telah memikirkan untuk mengelola pariwisata. Menjelang akhir tahun 1946, Bupati Kepala Daerah Wonosobo, mempunyai inisiatif untuk mengorganisasikan kegiatan perhotelan di Indonesia dengan menugaskan tiga orang pejabat setempat : W. Soetanto, Djasman Sastro Hoetomo dan R. Alwan. Melalui mereka inilah lahir Badan Pusat Hotel Negara, yang merupakan organisasi perhotelan pertama di Indonesia. Pada tanggal 1 Juli 1947, pemerintah Indonesia meulai menghidupkan kembali industri-industri di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pariwisata.
Sektor pariwaisata mulai menununjukkan geliatnya. Hal ini ditandai dengan Surat Keputusan Wakil Presiden (Dr. Mohamad Hatta) sebagai Ketua Panitia Pemikir Siasat Ekonomi di Jogjakarta untuk mendirikan suatu badan yang mengelola hotel-hotel yang sebelumnya dikuasai pemerintah pendudukan. Badan yang baru dibentuk itu bernama HONET (Hotel National & Tourism) dan ketuai oleh R Tjipto Rulan. Badan tersebut segera mengambil alih hotel-hotel yang terdapat di daerah : Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Cirebon, Sukabumi, Malang, Sarangan, Purwokerto, Pekalongan, yang semuanya diberi nama Hotel Merdeka.
Terjadinya KMB (Konferensi Meja Bundar) pada tahun 1949 mengakibatkan perkembangan lain, mengingat salah satu isi perjanjian KMB adalah bahwa seluruh harta kekayaan milik Belanda harus dikembalikan kepada pemiliknya. Oleh karena itu, akhirnya HONET dibubarkan dan selanjutnya berdiri badan hukum NV HORNET yang merupakan satu-satunya yang menjalankan aktivitas di bidang perhotelan dan pariwisata.
Tambayong, pemilik Hotel Orient yang berkedudukan di Bandung. Badan tersebut dibantu pula oleh S. Saelan (pemilik hotel Cipayung di Bogor), dan M Sungkar Alurmei (Direktur hotel Pavilion/Majapahit di Jakarta), yang kemudian mendirikan cabang dan menetapkan komisaris di masing-masing daerah di wilayah Indonesia. Keanggotaan SERGAHTI pada saat itu mencakup seluruh hotel di Indonesia. Disamping SERGAHTI, beberapa pejabat tinggi negara yang posisinya ada kaitannya dengan aspek parwisata Indonesia dan beberapa anggota elite masyarakat yang peduli terhadap potensi pariwisata nasional mendirikan Yayasan Tourisme Indonesia atau YTI pada tahun 1955, yang nantinya akan menjadi DEPARI, Dewan Pariwisata Indonesia yang menjadi cikal bakal Departemen Pariwisata dan Budaya saat ini.
Kondisi Pariwisata Setelah Pemberlakuan Otonomi Daerah
Sektor pariwisata yang sudah mendunia dan menyedot banyak wisatawan mancanegara bahkan lintas negara, juga pada akhirnya mampu menjadi duta bangsa yang mengabarkan pada dunia, eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Menjadi duta kepada dunia dan mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka, aman, kondusif, maju dan sejahtera. Sektor pariwisata ini dapat memberi gambaran wajah Indonesia kepada dunia internasional. Pariwisata di era otonomi daerah adalah wujud dari cita-cita Bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Memajukan kesejahteraan umum dalam arti bahwa pariwisata jika dikelola dengan baik, maka akan memberikan kontribusi secara langsung pada masyarakat di sekitar daerah pariwisata, terutama dari sektor perekonomian.
Secara tidak langsung, pariwisata memberikan kontribusi signifikan kepada pendapatan asli daerah (PAD) suatu daerah dan tentu saja pemasukan devisa bagi suatu negara. Akibat langsung yang timbul dari pemberian otonomi daerah adalah adanya “daerah basah” dan “daerah kering”. Hal ini disebabkan potensi dan kondisi masing-masing daerah di Indonesia tidak sama. Daerah yang kaya akan sumber daya alam otomatis menjadi “daerah basah” seiring dengan bertambahnya perolehan pendapatan asli daerahnya dari sektor migas misalnya, sedangkan daerah yang minus sumber daya alam otomatis menjadi daerah kering. Namun demikian tidak berarti daerah yang miskin dengan sumber daya alam tidak dapat meningkatkan pendapatan asli daerahnya, karena jika dicermati ada beberapa potensi daerah yang dapat digali dan dikembangkan dari sektor lain seperti sektor pariwisata.
Dalam lingkup nasional, sektor pariwisata dianggap sebagai sektor yang potensial di masa yang akan datang. Menurut analisis World Travel and Tourism Council (WTTC) (2016) dan World Bank (2016), industri pariwisata di Indonesia telah menyumbang 10% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada saat ini dan diperkirakan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di atas rata-rata industri. Peringkat ke-4 penyumbang devisa nasional, sebesar 9,3%. Pertumbuhan penerimaan devisa tertinggi, yaitu 13%. Biaya marketing hanya 2% dari proyeksi devisa. Penyumbang 9,8 juta lapangan pekerjaan, atau 8,4%. Lapangan kerja tumbuh 30% dalam 5 tahun. Pencipta lapangan kerja termurah US$ 5.000/satu pekerjaaan.
Ada beberapa isu strategis (politik, ekonomi, sosial dan budaya) yang terkait dengan pariwisata di era otonomi daerah yaitu: pertama dalam masa penerapan otonomi daerah di sektor pariwisata adalah timbulnya persaingan antar daerah, persaingan pariwisata yang bukan mengarah pada peningkatan komplementaritas dan pengkayaan alternatif berwisata. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: a) lemahnya pemahaman tentang pariwisata; 2) lemahnya kebijakan pariwisata daerah; 3) tidak adanya pedoman dari pemerintah pusat maupun provinsi. Akibatnya pengembangan pariwisata daerah sejak masa otonomi lebih dilihat secara parsial. Artinya banyak daerah mengembangkan pariwisatanya tanpa melihat, menghubungkan dan bahkan menggabungkan dengan pengembangan daerah tetangganya maupun propinsi/kabupaten / kota terdekat. Bahkan cenderung meningkatkan persaingan antar wilayah, yang pada akhirnya akan berdampak buruk terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Padahal pengembangan pariwisata seharusnya lintas provinsi atau lintas kabupaten/kota, bahkan tidak lagi mengenal batas karena kemajuan teknologi informasi. Isu kedua terkait dengan kondisi pengembangan pariwisata Indonesia yang masih bertumpu pada daerah tujuan wisata utama tertentu saja, walaupun daerah-daerah lain diyakini memiliki keragaman potensi kepariwisataan.
Hal yang mengemuka dari pemusatan kegiatan pariwisata ini adalah dengan telah terlampauinya daya dukung pengembangan pariwisata di berbagai lokasi, sementara lokasi lainnya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Selain itu kekhasan dan keunikan atraksi dan aktivitas wisata yang ditawarkan masih belum menjadi suatu daya tarik bagi kedatangan wisatawan mancanegara, karena produk yang ditawarkan tidak dikemas dengan baik dan menarik seperti yang dilakukan oleh negara-negara pesaing. Salah satu kelemahan produk wisata Indonesia, yang menyebabkan Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara tetangga adalah kurangnya diversifikasi produk dan kualitas pelayanan wisata Indonesia. Para pelaku kepariwisataan Indonesia kurang memberikan perhatian yang cukup untuk mengembangkan produk- produk baru yang lebih kompetitif dan sesuai dengan selera pasar. Isu ketiga berhubungan dengan situasi dan kondisi daerah yang berbeda baik dari potensi wisata alam, ekonomi, adat budaya, mata pencaharian, kependudukan dan lain sebagainya yang menuntut pola pengembangan yang berbeda pula, baik dari segi cara atau metode, prioritas, maupun penyiapannya. Proses penentuan pola pengembangan ini membutuhkan peran aktif dari semua pihak, agar sifatnya integratif, komprehensif dan sinergis. Isu keempat dapat dilihat dari banyaknya daerah tujuan wisata yang sangat potensial di Indonesia apabila dilihat dari sisi daya tarik alam dan budaya yang dimilikinya. Namun sayangnya belum bisa dijual atau mampu bersaing dengan daerah-daerah tujuan wisata baik di kawasan regional maupun internasional. Hal tersebut semata-mata karena daya tarik yang tersedia belum dikemas secara profesional, rendahnya mutu pelayanan yang diberikan, interpretasi budaya atau alam yang belum memadai, atau karena belum dibangunnya citra (image) yang membuat wisatawan tertarik untuk datang mengunjungi dan lain sebagainya.
Memperbanyak variasi produk baru berbasis sumber daya alam, dengan prinsip pelestarian lingkungan dan partisipasi masyarakat, merupakan strategi yang ditempuh untuk meningkatkan pemanfaatan keunikan daerah dan persaingan di tingkat regional dengan daerah lain. Selain kualitas kemasan dan pelayanan, produk pariwisata berbasis alam harus memberikan pengalaman lebih kepada wisatawan. Selanjutnya, pengemasan produk wisata dan pemasarannya, haruslah memanfaatkan teknologi terkini. Produk-produk wisata yang ditawarkan harus sudah berbasis teknologi informasi, sebagai upaya meningkatkan pelayanan dan sekaligus meningkatkan kemampuan pariwisata daerah menembus pasar internasional.
Sebagai konsekuensi untuk menjawab tantangan isu dan mencapai tujuan-tujuan besar tersebut, daerah-daerah harus melakukan inovasi, kreasi dan pengembangan-pengembangan terhadap potensi-potensi pariwisata masing-masing daerah dengan mencari dan menciptakan peluang-peluang baru terhadap produk-produk pariwisata yang diunggulkan.
Bagi Indonesia, industri pariwisata merupakan suatu komoditi prospektif yang di pandang mempunyai peranan penting dalam pembangunan nasional, sehingga tidak mengherankan apabila Indonesia menaruh perhatian khusus kepada industri pariwisata. Hal ini lebih diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa Indonesia memiliki potensi alam dan kebudayaan yang cukup besar yang dapat dijadikan modal bagi pengembangan industri pariwisatanya. Salah satu tujuan pengembangan kepariwisataan di Indonesia adalah untuk meningkatkan pendapatan devisa khususnya dan pendapatan negara dan masyarakat pada umumnya, perluasan kesempatan serta lapangan kerja dan mendorong kegiatan-kegiatan industri-industri penunjang dan industri-industri sampingan lainnya. Di Indonesia pengembangan industri pariwisata masuk dalam skala prioritas khususnya bagi daerah-daerah yang miskin akan sumber daya alam. Sesuai dengan pernyataan International Union of Official Travel Organization (IUOTO) dalam konferensi di Roma tahun 1963 bahwa pariwisata adalah penting bukan saja sebagai sumber devisa, tapi juga sebagai faktor yang menentukan lokasi industri dan dalam perkembangan daerah-daerah yang miskin dalam sumber-sumber alam. Ini menunjukkan bahwa pariwisata sebagai industri jasa mempunyai andil besar dalam mendistribusikan pembangunan ke daerah-daerah yang belum berkembang.
Dalam orde reformasi ini, merupakan momentum awal yang sangat tepat bagi daerah untuk lebih mandiri dalam menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Kemandirian daerah ini terwujud dalam pemberian kewenangan yang cukup besar meliputi kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama. Penyerahan kewenangan tersebut disertai juga dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Merupakan konsekuensi logis bagi daerah dengan adanya penerapan otonomi daerah maka segala sesuatu yang bersifat operasional dilimpahkan kepada daerah. Sehubungan dengan penerapan otonomi daerah maka segala sesuatu yang menyangkut pengembangan industri pariwisata meliputi pembiayaan, perizinan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi menjadi wewenang daerah untuk menyelenggarakannya. Dengan demikian masing-masing daerah dituntut untuk lebih mandiri dalam mengembangkan obyek dan potensi wisatanya, termasuk pembiayaan promosinya.
Sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi berasal dan pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dan dalam wilayah daerah yang bersangkutan terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Dilihat dari sisi pendapatan asli daerah, maka ada beberapa daerah di Indonesia yang miskin akan sumber daya alam sehingga tidak dapat mengandalkan pendapatan asli daerahnya dari hasil sumber daya alam. Oleh karenanya pengembangan industri pariwisata suatu daerah menjadi alasan utama sebagai salah satu upaya meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pemanfaatan potensi-potensi daerah setempat.
Sumber : Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata, 2017 I Ketut Suwena & I Gusti Ngurah Widyatmaja
Komentar0
Tinggalkan komentar Anda disini: