TpG6BSAiBUYlBUY5TUr5GfriGi==

Makna Tembang Jawa Lir-Ilir

 Pulau Jawa merupakan wilayah yang memiliki populasi masyarakat terbesar di Indonesia dan pengaruhnyapun begitu besar bagi kehidupan bernergara di Indonesia. Hal ini ditijau dari mapannya kebudayaan, baik dalam seni agama ataupun dari segi kehidupan lainnya, masyarakar Jawa memegang identitas sebagai salah satu pusat perkembangan peradaban Indonesia. Percampuran dari kebudayaan dan kepercayaan, yang terdiri dari kejawen kuno (kapitayan), Hindu, Buddha sampai pada masuknya Islam pada masa perempat abad 15 M. Dengan demikian masyarakat Jawa berada dalam berbagai corak pemikiran yang beragam.

Makna Tembang Jawa Lir-Ilir

Masuknya Islam Di Tanah Jawa

Sebagian besar masyarakat Jawa menjalankan ajaran Islam Jawa yang berupa campuran dari ajaran Hindu, Buddha dan Islam. Sejarah awal perkembangan Islam di Pulau Jawa tak lepas dari peran ulama yang oleh masyarakat Jawa kemudian disebut dengan sebutan Wali Songo, yaitu Wali yang berjumlah sembilan. Para Wali mengajarkan yang baru dengan tidak menentang ajaran lama. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah kaum awam untuk menerima ajaran Islam di masyarakat Jawa yang sudah memiliki keyakinan, yaitu Hindu dan Buddha.

Salah satu Wali Songo yang sangat terkenal bagi orang Jawa adalah Sunan Kalijaga, ketenaran dilandasi dengan beberapa alasan, yaitu:

  • Karena beliau seorang ulama yang sakti dan cerdas;
  • Beliau juga seorang negarawan yang "mengasuh" para raja beberapa kerajaan; dan
  • Beliau juga dikenal sebagai budayawan yang santun dan seniman wayang yang hebat.

Belaiau mengajarkan, setiap masyarakat memiliki keunikan dalam hal budaya, kebiasaan, dan kepercayaan dalam melakoni kehidupan. Beliau juga tidak pernah sedikitpun memunculkan kegundahan batin dalam hati warga masyarakat. Kelembutan dan kehalusan budi pekerti menjadi perilaku yang meneduhkan setiap orang yang melihatnya. Selain itu, Sunan Kalijaga memiliki karya lagu (tembang) yang tidak usang dimakan waktu yaitu "Lir Ilir".

Makna Tembang Lir Ilir

Secara historis lagu Lir Ilir sarat dengan pemaknaan yang mendalam dan memiliki unsur sastra. Tembang Lir Ilir merupakan karya dasi Sunan Kalijaga sebagai media dan pendekatan dalam penyebaran agama Islam (dakwah) khususnya di tanah Jawa.

Tembag Lir Ilir ini memang terkesan sederhana, namun memuat ajaran spiritual dan banyak dari masyarakat Jawa menghafalnya. Dari sekian banyak yang mengenal tembang Lir Ilir ini, tidak banyak khalayak yang mengerti makna yang terdapat di dalam lagu tersebut.

Berikut merupakan lirik tembang (lagu) Lir Ilir:

Lir ilir, lir ilir
Tandhure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon, cah angon
Penekno blimbing kuwi 
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodotiro 
Dodotiro-dodotiro 
Kumintir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surako, surak iyo

Jika diartikan dalam bahasa Indonesia, kurang lebih artinya adalah sebagai berikut:

Sayup sayup, sayup sayup bangun (dari tidur)
Tanaman-tanaman sudah mulai bersemi
Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru
Anak-anak penggembala 
Tolong panjatkan pohon belimbing itu
Walaupun licin tetap panjatlah
Untuk mencuci pakaian
Pakaian yang koyak disisihkan
Jahitlah benahilah untuk menghadap nanti sore
Selagi sedang terang rembulannya 
Selagi sedang banyak waktu luang
Mari bersorak-sorak ayo

Tembag ini memiliki makna yang sangat penting dan mendalam yang perlu kita hayati agar dapat menginspirasi kita tentang hakikat kehidupan. Tembang karya Sunan Kalijaga ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Pada baris pertama yang berbunyi lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir, kata tandure yang mempunyai makna simbol yaitu menata sambil menandur. Makna simbol yang dimaksud oleh Sunan Kalijaga adalah dalam menata barisan. Dalam hal ini adalah menata sistem pemerintahan yang lebih baik dari sebelumnya, dengan melihat pengalaman atau kejadian pada masa lalu yang menjadi bahan untuk introspek diri dalam menata kembali kehidupan dengan memegang teguh syariat Islam sesuai dengan ajaran dakwah Sunan Kalijaga. Menata kehidupan pasti ada saja yang berubah arah menjadi penuh liku atau banyak godaan dalam masa kepemimpinannya. Oleh sebab itu, para pemimpin harus bisa menerima dengan lapang dada kritik atau saran dari masyarakat yang dipimpinnya.

Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar, jika diartikan makna tersebut tidak hanya merupakan jenis warna, tetapi Sunan Kalijaga menyimbolkan kata ijo royo-royo sebagai simbol yang tersirat untuk dakwah Islam. Makna ijo royo-royo dalam Islam disimbolkan dengan kenikmatan, suasana, kesenangan, dan ketenangan jiwa. Karena dalam Islam warna hijau disimbolkan dengan pakaian ahli surga. Dengan harapan para bangsawan dan masyarakat yang sebelumnya memeluk Hindu dan Buddha akan merasakan kedamaian dan ketenangan jiwa setelah memeluk Islam. Sedangkan kata berikutnya temanten anyar berarti adanya kehidupan baru yang dijalani sepasang insan, yang dalam hal ini menyimbolkan sebagai orang yang baru masuk dan memeluk Islam. Demikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, tetapi mereka belum mempunyai pemahaman yang mendalam mengenai agama barunya, hal ini disimbolkan seperti pengantin baru yang baru akan memulai kehidupan pernikahannya, dimana sepasang pengantin atau dalam hal ini adalah para kalangan pemimpin yang baru masuk dan memeluk Islam. Oleh karena itu, kalangan mualaf (orang yang baru memeluk Islam), masih memerlukan bimbingan atau pedoman untuk menjalaninya.

Cah angon-cah angon, penekno blimbing kuwi mempunyai dua simbol, yaitu cah angon yang berarti "gembala" secara harfiah. Tetapi tentunya yang dimaksudkan oleh Sunan Kalijaga bukan gembala dalam pengertian seperti di atas, tetapi gembala dalam konteks ini adalah simbol dari penjaga rakyat. Mereka adalah penggembala yang mengendalikan rakyat. Para pemimpin yang disimbolkan oleh Sunan Kalijaga dengan pemilihan kata cah angon yaitu gembala. Kemudian kata selanjutnya yaitu blimbing yang mempunyai arti harfiah yaitu tumbuhan perdu berdaun kecil dan buahnya bergerigi lima buah. Dalam hal ini Sunan Kalijaga menyimbolkan blimbing sebagai rukun Islam yang berjumlah lima buah yang terdiri dari syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji bagi yang mampu. Artinya blimbing memiliki makna simbol yaitu Rukun Islam yang terdiri dari syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji bagi yang mampu. Kelima hal tersebut dalam ilmu Islam memang bisa mensucikan harta dan jiwa raga menusia selama hidup di dunia sebagai bekal untuk mati, sehingga Sunan Kalijaga kata blimbing sebagai simbol untuk membersihkan harta dan jiwa manusia agar suci dan bersih dari dosa-dosa yang telah diperbuat.

Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro mempunyai satu simbol yaitu dodotiro yang berarti kain panjang yang dipakai para raja dan nara praja. Dodot juga digunakan sebagai selimut tidur. Jadi dodot merupakan kain yang amat penting bagi raja. Tetapi dalam agama khasanahbudaya Jawa disebut "ageman" atau pakaian. Sehingga dodot menyimbolkan pakaian yang penting untuk para bangsawan yang mana dalam konteks ini adalah pemerintah yang sedang memerintah pada saat itu diibaratkan pemimpin yang sedang tidak baik sistem pemerintahannya karena adanya perebutan kekuasaan dan korupsi besar-besaran. Sunan Kalijaga memilih kata dodot/pakaian, karena pakaian adalah hal yang paling penting bagi seorang pemimpin. Jika pakaian itu kotor dan sudah lusuh maka Sunan Kalijaga mengingatkan untuk segera membasuhnya atau mensucikannya dengan blimbing yaitu berpegang teguh pada Rukun Islam.

Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore terdapat satu simbol yaitu sore yang berarti matahari sudah tenggelam dari ufuk barat (mengingatkan kepada segenap pemimpin dan masyarakat bahwa umur kalian sudah senja) diamana Sunan Kalijaga menyimbolkan peringatan itu dengan menggunakan kata sore. Kata sore dipilih oleh Sunan Kalijaga dalam liriknya, karena pada waktu sore pastilah matahari sudah saatnya terbenam di ufuk barat, disimbolkan dengan keadaan manusia yang sudah memasuki usia senja. Jika dipelajari lebih dalam kehidupan orang Jawa sangat syarat akan makna positif kehidupan. Tuhan telah mengatur kehidupan bagi semua makhluk hidup, termasuk manusia. Setiap hari melihat banyak orang yang keluar rumah untuk bekerja mencari penghidupan yang lebih baik. Pagi hari mereka keluar rumah untuk bekerja dan sore pulang dengan kondisi yang lebih baik. Disini alasan Sunan Kalijaga memilih kata sore sebagai simbol jika manusia telah berpulang menghadap Illahi maka harus dalam keadaan yang baik atau khusnul khotimah.

Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane yang mempunyai satu simbol yaitu rembulan yang menyimbolkan situasi terang dan lapang, terang berartikan rembulan yang letaknya berada paling atas dalam kehidupan manusia. Dapat disimbolkan sebagai pemimpin (yang dijunjung oleh rakyat) karena letaknya berada paling atas sebagai pemimpin rakyat. Selain itu, kata rembulan merupakan suatu yang terang, karena banyak pemimpin dan rakyat berpindah agama ke Islam sehingga Islam mempunyai banyak pengikut.

Komentar0

Tinggalkan komentar Anda disini:

Type above and press Enter to search.