TpG6BSAiBUYlBUY5TUr5GfriGi==

Mengenal Lebih Dekat Kesenian Tradisional Sintren

 MlatenMania.com - Indonesia adalah negeri yang kaya akan kebudayaan. Kebudayaan sendiri adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. Setiap daerah di Indonesia memiliki kebudayaan masing-masing. Tari Sintren adalah kesenian yang ada pada pantura (pantai utara) Jawa, terutama daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sintren merupakan wujud kebudayaan berupa kesenian tari. Wujud kebudayaan ini ialah wujud kebudayaan yang paling konkret sebab dapat dilihat, ditampilkan dan didokumentasikan.

Mengenal Lebih Dekat Kesenian Tradisional Sintren

Sintren sendiri adalah kesenian tradisional masyarakat Jawa Tengah khususnya Pekalongan, Kendal dan sekitarnya, merupakan sebuah tarian yang berbau mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dan Raden Sulandono. Dalam kisah tersebut bahwa Raden Sulandono adalah putra dari Ki Bahurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari.

Setiap diadakan pertunjukkan sintren sang penerari dimasuki roh bidadari oleh pawangnya. Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci (perawan), dibantu oleh pawangnya dan diiringi gending 6 orang. Pengembangan tari sintren sebagai hiburan rakyat, kemudian dilengkapi dengan penari pedamping dan pelawak.

Kesenian Sintren

Dari segi asal usul bahasa (etimologi) Sintren merupakan gabungan dua Sintren yang menjadi pemeran utama dalam kesenian tradisional Sintren. Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa Tengah di wilayah pantai utara, khususnya di Pemalang. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Barat, antara lain di Pemalang, Pekalongan, Brebes, Banyumas, Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Jatibarang. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono. Herusatoto mengemukakan bahwa Sintren adalah seni pertunjukan rakyat Jawa-Sunda; seni tari yang bersifat mistis, memiliki ritus magis tradisional tertentu yang mencengangkan.

1. Legenda Sintren

Kesenian Sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh masyarakat dan memiliki dua versi, Pertama, berdasar pada legenda cerita percintaan Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (sapu tangan) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono.

Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyisembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami "trance" dan saat itu pula R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat sulasih "trance/kemasukan roh halus/kesurupan" ini yang disebut "Sintren", dan pada saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai "balangan". Dengan ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai rumahtangga.

Kedua, Sintren dilatar belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.

Tak lama terbetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari Sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup.

Karena kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.

2. Bentuk Penyajian Sintren 

Sebelum pertunjukan, biasanya diawali dengan tabuhan gamelan sebagai tanda akan dimulainya pertunjukan kesenian Sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan massa atau penonton. Penonton biasanya datang bergelombang dan menempatkan diri dengan mengelilingi arena, disambut dengan koor lagulagu dolanan anak-anak Jawa, seperti lir-ilir, Cublek-cublek suweng, Padang Rembulan dan sebagainya.

Setelah itu dilakukan pembakaran "dupa", yaitu acara berdoa bersama-sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya. Bahkan sebelumnya perlu dilakukan acara ritual selama 40 hari terhadap penari Sintren untuk mencapai kesempurnaan penampilannya.

Berikutnya adalah tahapan menjadikan Sintren yang akan dilakukan oleh Pawang dengan membawa calon penari Sintren bersama dengan empat orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi para dayang/cantrik. Pawang segera menjadikan penari Sintren secara bertahap, melalui tiga tahapan. Tahap Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari Sintren, kemudian diletakkan di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya mengikat calon penari Sintren dengan tali melilit ke seluruh tubuh. Tahap Kedua, calon penari Sintren dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama busana Sintren dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, Sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu Sintren ditutup kurungan kembali. Tahap Ketiga, setelah ada tanda-tanda Sintren sudah jadi (biasanya ditandai kurungan bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, Sintren sudah lepas dari ikatan tali dan siap menari. Selain menari adakalanya Sintren melakukan akrobatik diantaranya ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan Sintren berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti.

Kesenian Sintren disajikan secara komunikatif antara seniman dan seniwati dengan penonton menyatu dalam satu arena pertunjukan. Tetapi ada juga yang menuturkan bahwa asal usul Sintren adalah upacara pemanggilan ruh. Ini jika dilihat dari lagu-lgunya yang masih memiliki sifat magis religius dengan adanya adegan kesurupan (trance) yang dialami seorang pemain Sintren. Juga dilihat dari sifat permainannya yang masih dipimpin oleh seorang pawang sebagai shaman atau dukun.

Keunikan dalam pertunjukan Sintren adalah penari yang berpakaian biasa dalam keadaan tubuh dan tangan terikat mampu menjelma di dalam kurungan ayam jago yang di dalamnya telah disediakan berbagai alat rias seperti cermin, bedak, gincu, seperangat pakaian tari dan kaca mata hitam menjadi gadis cantik dan mengenakan pakaian indah dengan hiasan wajah yang begitu sempurna dan memakai kacamata hitam. Setelah beberapa waktu kurang lebih antara 20 menit sampai 60 menit penari keluar dari kurungan sudah dalam tampilan yang berbeda saat masuknya. Kaca mata hitam yang dimaksudkan untuk menutupi posisi biji mata sewaktu trance/kesurupan.

3. Balangan atau Temohan

Balangan yaitu pada saat penari Sintren sedang menari maka dari arah penonton ada yang melempar (Jawa : mbalang) sesuatu ke arah penari Sintren. Setiap penari terkena lemparan maka Sintren akan jatuh pingsan (bila mengenai kepala). Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua tangan penari Sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusap wajah penari Sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga penari Sintren dapat melanjutkan menari lagi.

Sedangkan temohan adalah penari Sintren dengan nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih berupa uang ala kadarnya. Lagu-lagu yang dilantunkan dalam pertunjukan seni Sintren umumnya bersifat memanggil bidadari, kekuatan ruh yang dipercayai dapat mendatangkan kekuatan tertentu, seperti tercermin dalam lagu yang penulis masih ingat yaitu Turun Sintren, yang kurang lebih syairnya sebagai berikut:

Turun-turun Sintren, turune widodari nemu kembang neng ayunan, kembange wijaya endah podho temuruno neng sukmo, ono Sintren jejogetan bul-bul kemenyan, widodari kang sukmo, podho temuruno podho sinuyudhan, podho lenggak-lenggok surake keprok ramerame sing nonton podho mbalang lendang karo Sintrenne, njaluk bayar saweran sa lilane.

Artinya:

Turun-turunnya Sintren, turunnya bidadari Menemukan bunga di depan rumah, bunganya bunga Wijaya indah Semua turun ke jiwa, ada Sintren menari-nari Asap-asap kemenyan membumbung, bidadari yang merasuk ke jiwa, semua turunlah Semua bekerjasama, semua menari bersama, tepuk tangan bersama dengan ramai sekali Semua yang melihat melempar selendang kepada Sintren, Sintrennya meminta dibayar seikhlasnya.

Tarian Sintren sangat unik, karena banyak yang mengatakan gerakannya di luar kesadaran akal sehat, diiringi lagu dan beberapa alat musik sederhana yaitu ; buyung, lodong bambu, kecrek (terbuat dari sapulidi), dan hihid (kipas). Sekarang hihid diganti dengan karet bahan sandal., namun menggugah selera untuk terus menari. Tua muda melihatnya penuh antusias mengikuti, semua mata tertuju pada gerakan yang melambangkan kesederhanaan.

4. Tahap Pemulihan Sintren

Tahap pertama, penari Sintren dimasukkan ke dalam kurungan bersama pakain biasa (pakaian sehari-hari). Tahap kedua, pawang membawa anglo berisi bakaran kemenyan mengelilingi kurungan sambil membaca mantra sampai dengan busana Sintren dikeluarkan. Tahap ketiga, kurungan dibuka, penari Sintren sudah berpakain biasa dalam keadaan tidak sadar. Selanjutnya pawang memegang kedua tangan penari Sintren dan meletakkan di atas asap kemenyan sambil membaca mantra sampai Sintren sadar kembali, pertunjukan Sintren selesai.

Dahulu pertunjukan Sintren sering dilakukan oleh para juragan padi sesaat setelah panen, sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan pertaniannya atau pada musim kemarau untuk meminta hujan, maka dalam pertunjukannya akan dilantunkan lagu yang syairnya memohon agar diturunkan hujan. Namun kini pertunjukan Sintren sangat jarang. Pertunjukan Sintren kini dilakukan secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain oleh pelaku seni Sintren.

Demikian artikel mengenai Mengenal Lebih Dekat Kesenian Tradisional Sintren, mudah-mudahan bermanfaat untuk kita semuanya. Sekian dan terimakasih.

Komentar0

Tinggalkan komentar Anda disini:

Type above and press Enter to search.