MlatenMania.com - Hukum Islam (fiqh) bagi kaum muslimin, menempati tempat yang teramat sentral, karena aturannya yang mencakup semua aspek kehidupan mereka. Oleh karena itu apa yang dinamai hukum Islam, sesungguhnya akan lebih tepat lagi jika diapresiasikan sebagai keseluruhan tata hidup religius dalam Islam itu sendiri. Setiap pembahasan tentang hukum Islam selalu terkait dengan keyakinan dan sikap keagamaan umat Islam yang paling mendasar.
Islam tidak menganjurkan kepada umat manusia untuk menjadikan harta kekayaan sebagai tujuan akhir dan paling utama dalam hidup mereka. Islam juga tidak menganjurkan kepada mereka untuk mengabaikannya, karena harta kekayaan dapat menjadi sarana yang penting dan amat dibutuhkan untuk mendapatkan berbagai kemudahan dan kenikmatan hidup sebagai karunia Allah.
Dalam ajaran Islam, aktivitas ekonomi bisa menjadi bagian dari aktivitas ibadah. Prinsip ini memilki dua konsekuensi:
Pertama, bekerja bukanlah aktivitas yang dilakukan hanya untuk tujuan mencari penghasilan demi menyambung kelangsungan hidup dan menikmati kemakmuran di dunia, melainkan juga harus diniatkan dan dihayati sebagai panggilan mulia ajaran agama. Dengn penghayatan seperti ini, aktivitas ekonomi juga memiliki nilai ibadah kepada Allah SWT.
Kedua, dalam kegiatan perekonomian setiap muslim tidak boleh semata-mata berorientasi pada aspek jumlah keuntungan material yang dapat diperoleh, melainkan juga harus memperhatikan aturan-aturan atau nilai-nilai etika yang diajarkan oleh syari’at Islam, baik yang berkatian dengan tujuan dan motivasi bekerja, cara-cara menjalankannya maupun dalam hal penggunaan hasil kerja yang diperoleh dari setiap pekerjaannya.
Namun dalam proses interaksi manusia dalam bidang ekonomi ini jika tidak memperhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam juga dapat menjerumuskan pelaku ekonomi tersebut ke arah yang keliru, seperti terjadinya paraktek riba.
Pengertian Riba
Secara bahasa (lughah), menurut al-Razi, riba berarti tambahan. Hal ini didukung dengan sebuah ungkapan rabā al-syay‟ yarbū; arbā al-rajul idzā „amala fī al-ribā. Di samping itu juga dikuatkan oleh QS. al-Hajj [22]: اهتزت وربت......(…hiduplah bumi itu dan suburlah…).9 Arti kata riba dalam ayat ini adalah bertambahnya kesuburan atas tanah. Sejalan dengan ini bisa dilihat QS. al-Nahl [16]:92: … disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya (arba) dari golongan yang lain. Senada dengan al-Razi, al-Shabuni berpendapat bahwa riba adalah tambahan secara mutlak.10 Demikian pula al-Jurjani dalam kitab al-Ta„rīfāt-nya menjelaskan bahwa riba secara bahasa bermakna ziyādah (tambahan).
Menurut Quraish Shihab, kata riba dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Kalau kita hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang dikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapat dibenarkan. Ketika itu mereka berkata (sebagaimana diungkapkan al-Qur‟an –bahwa “jual beli sama saja dengan riba” (QS. al-Baqarah [2]:275), Allah menjawab mereka dengan tegas bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa tentu ada alasan atau hikmah sehingga riba diharamkan dan jual beli dihalalkan.
Akar kata ربو yang menjadi sumber kata riba, digunakan dalam al-Qur'an sebanyak dua puluh kali (QS. al-Baqarah [2]:265, 275, 276, 278; Ali Imran [3]:130; al-Nisa‟ [4]:161; al-Ra‟d [13]:17; al-Nahl [16]: 92; al-Isra‟ [17]:24; al-Hajj [22]:5; 23:50; 26:18; 30:39; 41:39; 69:10). Dari dua puluh itu, istilah riba digunakan delapan kali (QS. al-Baqarah [2]: 275, 276, 278; Ali Imran [3]:130; al-Nisa‟ [4]:161; 30:39). Akar kata ربو dalam al-Qur‟an memiliki makna „tumbuh‟ (QS. al-Hajj 22:5), „menyuburkan‟ (QS. al-Baqarah [2]:276; 30:39), „mengembang‟ (QS. al-Ra„d [13]:17), dan „mengasuh‟ (QS. al-Isra‟ [17]:24; 26:18, „menjadi besar‟ dan „banyak‟ (QS. al-Nahl [16]:92). Akar kata ini juga digunakan dalam arti „dataran tinggi‟ (QS. al-Baqarah [2]: 265; 23:50). Penggunaan-penggunaan tersebut tampak secara umum memiliki satu makna, yaitu "bertambah‟, dalam arti kuantitas maupun kualitas.
Sedangkan secara terminologis, menurut al-Shabuni, riba adalah tambahan yang diambil oleh pemberi hutang dari penghutang sebagai perumbangan dari masa (meminjam).14 Al-Jurjani mendefiniskan riba sebagai tambahan atau kelebihan yang tiada bandingannya bagi salah satu orang yang berakad. Sementara Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitāb al-Fiqh alā Madzāhib al-Arba'ah menjelaskan bahwa riba menurut istilah fukaha adalah tambahan pada salah satu dua barang yang sejenis yang ditukar tanpa adanya imbalan/imbangan terhadap tambahan tersebut. Dalam madzhab Syafi‟i, riba dimaknai sebagai transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak diketahui kesamaan takarannya maupun ukuran waktunya kapan terjadi transaksi dengan penundaan penyerahan kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya.
Pengertian yang hampir sama juga disampaikan oleh beberapa ulama antara lain, Badruddin al-Ayni yang berpendapat bahwa prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syari‟ah, riba berarti penambahan atas harga pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. Sementara Imam Sarakhsi dari madzhab Hanafi mengatakan bahwa riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut. Menurut Zaid bin Aslam, yang dimaksud riba Jahiliyyah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya pada saat jatuh tempo, ia berkata, “bayar sekarang atau tambah”. Dan Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba, ia menjawab, “sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjaman) atas penambahan waktu yang diberikan”.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa secara umum terdapat benang merah antara pengertian secara bahasa (lughah) maupun secara istilah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan dalam suatu akad transaksi tertentu di mana pengambilan tambahan tersebut tanpa disertai imbangan tertentu. Dengan bahasa lain, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok tanpa transaksi pengganti yang meligitimasi adanya penambahan tersebut.
Pembagian Riba
Riba terbagi menjadi 2 yaitu:
1. Riba Fadhl ( ربا فضل )
Riba fadhl berasal dari kata al-fadhl yang berarti tambahan pada salah satu dari kedua barang yang dipertukarkan. Nash-nash telah mengaharamkannya pada enam hal, yaitu emas, perak, jelai, gandum, kurma dan garam.
Jika salah satu dari barang-barang di atas dijual dengan barang yang sejenis, diharamkan adanya tambahan (kelebihan) di antara keduanya. Dan diqiyaskan pada ekenam hal di atas adalah barang-barang yang mempunyai kesamaan ‘illat dengannya, maka tidak diperbolehehkan, misalnya, menjual satu kilo emas berkualitas buruk dengan setengah kilo emas berkualitas baik. Demikian halnya perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma dan garam dengan garam. Tidak diperbolehkan menjual sedikitpun barang-barang di atas dengan jenis yang sama kecuali dengan sama banyak, berkualitas sama dan seketika penyerahannya.
Namun demikian, dibolehkan menjual satu kilo emas dengan dua kilo perak jika dilakukan tunai (seketika) karena adanya perbedaan jenis.
2. Riba Nasi’ah ( ربا نسِيئة )
Riba Nasi’ah berasal dari kata al-Nasa-u ( النَّسَا ء ), yang berarti penangguhan. Ada dua macam riba nasi’ah:
a. Mengubah hutang bagi orang yang dalam kesulitan, dan inilah riba Jahiliyyah. Seseorang memiliki uang pada orang lain untuk dibayarkan dengan jangka waktu. Jika sudah jatuh tempo, maka orang yang memberi pinjaman itu berkata padanya : “kamu boleh melunasi (sekarang) atau menambahi (jika menunda)”. Jika dia melunasinnya, maka selesai masalah, jika tidak maka peminjam harus menambah nilai pada jumlah pinjaman awal pada saat jatuh tempo. Penambahan tersebut dilakukan sebagai konsekwensi dari keterlambatan membayar. Dengan demikian, hutang yang ditanggungnya akan berlipat-lipat jumlahnya
b. Pada suatu jual beli dua jenis barang yang keduanya mempunyai kesamaan dalam ‘illat (alasan) adanya riba fadhl, dengan penangguhan penerimaan keduanya atau penerimaan salah satu dari keduanya. Misalnya jual beli emas dengan emas atau dengan perak, atau perak dengan emas dengan jangka waktu atau tanpa serah terima barang ditempat pelaksanaan akad.
Dengan demikian yang pertama artinya adalah jual beli pada satu jenis barang yang menggunakan riba dengan cara jumlah yang berbeda di antara keduanya. Sedangkan yang kedua terbagi menjadi dua bagian juga, yang pertama adalah riba jahiliyah. Riba ini adalah riba seperti perilaku orang-orang jahiliyah dahulu, mereka memberikan hutang kepada orang lain untuk waktu berjangka, ketika jatuh temponya maka apabila si penghutang tidak sanggup membayar akan ditambahkan bunganya, selanjutnya ini bisa berlaku terus sampai jumlahnya berlipat ganda. Riba Nasiah yang kedua yaitu jual beli yang terdapat riba di dalamnya pada 2 jenis barang yang berbeda.
Menurut Ibnu Rusyd berdasarkan ijma ulama Pada dasarnya ada 6 pokok barang yang menjadi ushul ribawi, yaitu emas, perak, gandum, biji gandum, korma, dan garam. Dasar ini sebagaimana disebutkan oleh sebuah hadits dari Muslim yang dikutip oleh Ibnu Hajar, yaitu:
عنْ عُب اد ة بْنِّ الصَّامِّت قال: قال رسول الله صل ى الله عليه وسل م : الذَّ هبُ بالذهبِّ والفِّضَّ ة بالفضة والبُرُّبالبر والشَّعيرُ بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد فاذااختلفت هذه الاصناف فبيعوا كيف شئتم اذا كان يدا بيد. رواه مسلم
Dalam Hadits ini menurut para Fuqaha Maliki bahwa antara al-burr dengan syair adalah satu, sehingga walaupun 7 yang disebut di dalam Hadits, tetapi 6 yang disebut sebagai ushul ribawi.
Dasar Hukum dan Historisitas Ayat-ayat Riba
1. Tahapan Pelarangan Riba
Menurut Quraish Shihab, dalam al-Qur'an, kata riba diulang sebanyak delapan kali yang terdapat dalam empat surah, yakni al-Baqarah Ali Imran, al-Nisa‟ dan al-Rum. Tiga surah pertama adalah “ayat madaniyah” (turun setelah Nabi Hijrah ke Madinah), sedangkan surah al-Rum adalah “ayat Makkiyah” (turun sebelum Nabi Hijrah). Ini berarti ayat pertama yang membahas tentang riba adalah firman Allah:

“Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” (QS. al-Rum [30]:39).
Sementara Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi mengutip riwayatriwayat Bukhari, Ahmad, Ibnu Majah, Ibn Mardawaih dan al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw adalah ayat-ayat yang mengindikasikan penjelasan terakhir tentang riba, yaitu firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kalian orang-orang yang beriman” QS. al- Baqarah [2]:278).
Menurut al-Maraghi tahap-tahap pembicaraan al-Qur'an tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yakni ada empat tahap dalam pengharamannya. Tahap pertama sekedar menggambarkan adanya unsur negatif di dalam riba. Hal ini sebagaimana termaktub dalam QS. al-Rum [30]:39. Tahap berikutnya disusul dengan isyarat tentang keharaman riba, yaitu firman Allah:

“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah * dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil . Kami telah menjadikan untk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” (QS. al-Nisa' [4]:160-161).
Dalam ayat ini al-Qur'an masih "hanya" menyebutkan kecaman terhadap orang-orang Yahudi yang melakukan praktik-praktik riba. Tahap selanjutnya, secara eksplisit al-Qur'an telah mengharamkan praktik riba, meskipun masih terbatas pada salah satu bentuknya, yakni dengan menyertakan batasan adh'āfan mudhā'afan. Hal ini sebagaimana disebutkan firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan” (QS. Ali Imran [3]:30).
Dan pada tahap terakhir, riba telah diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya dan digambarkan sebagai sesuatu yang sangat buruk dan tidak layak dilakukan oleh orang-orang Mukmin sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman * Maka, jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya” (QS. al-Baqarah [2]:278-279).
Sementara Ali al-Shabuni menggambarkan secara detail tahap-tahap tersebut. Tahap pertama, Allah menurunkan QS. al-Rum [30]39. Ayat ini diturunkan di Makkah yang pada dasarnya belum menyatakan secara tegas mengenai keharaman riba, namun dalam ayat tersebut mengindikasikan kebencian Allah terhadap praktik riba dan tidak adanya pahala di sisi Allah Swt.
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah swt mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Pada tahap ini Allah menurunkan QS. al-Nisa‟ [4]:160-161.
Ayat ini termasuk ayat madaniyah yang memberi pelajaran bagi kita bahwa Allah swt menceritakan tentang perilaku orang Yahudi yang telah diharamkan untuk memakan riba, namun mereka tetap memakannya. Lalu Allah swt mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang tetap memakan riba. Ayat ini memang bukan merupakan dilalah keharaman riba bagi kaum muslimin. Akan tetapi memberi gambaran yang buruk terhadap praktik riba. Hal ini sebagaimana Allah menetapkan pengharaman khamr pada tahap kedua melalui firman-Nya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…” (QS. al- Baqarah [2]:219)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Pada tahap ini, Allah menurunkan QS. Ali Imran [3]:130. Menurut al-Shabuni, ayat ini termasuk madaniyah yang di dalamnya telah menerangkan keharaman riba secara jelas namun bersifat juz'i tidak bersifat kulli. Sebab, pengharamannya "hanya‟ ditujukan pada riba al-fāhisy; riba yang sangat buruk dan keji di mana dengan riba tersebut hutang seseorang dapat menjadi berlipat-lipat.
Ayat ini turun pada tahun ke-3 H. Secara umum, ayat ini menjadi perdebatan antara fukaha bahwa apakah kriteria berlipat ganda merupakan syarat terjadinya riba, atau ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu. Akan melihat waktu turunnya ayat ini harus dipahami secara komprehenship dengan QS. al-Baqarah [2]:278-279 yang turun pada tahun ke-9 H. Pengharaman ini sama dengan pengharaman khamr pada tahap ketiga dimana keharamannya hanya bersifat juz'i yakni hanya pada saat shalat saja. Hal ini sebagaimana tergambar dalam firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan…..” (QS. al-Nisa‟ [4]:43).
Tahap keempat, merupakan tahap yang terakhir, dengan diturunkannya QS. al-Baqarah [2]:278-279). Pada tahap ini, Allah swt dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman, baik sedikit mupun banyak. Dan pengharamannya bersifat kulli dan qath'i. Ayat Ini merupakan ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. Hal ini sama dengan tahap keempat diharamkannya khamr, di mana keharamannya sudah bersifat pasti sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan” (QS. al-Ma‟idah [5]:90).
Karena ayat ini didahului oleh ayat-ayat yang lain yang berbicara tentang riba, maka tidak heran jika kandungannya bukan saja melarang praktik riba, tetapi juga sangat mencela pelakunya, bahkan mengancam mereka.
2. Asbāb al-Nuzūl Turunnya Ayat-ayat Riba
Adalah suatu keharusan untuk mengetahui latar belakang (asbāb alnuzūl) larangan ayat riba ayat agar bisa memahami pembahasan riba secara mendasar. Tanpa mengetahui sebab yang melatarbelakanginya, akan menjadikan pemahaman yang kurang lengkap terhadap masalah riba. Secara historis ada beberapa versi (riwayat) yang menjadi latar belakang turunnya ayat larangan riba, khususnya QS. a-Baqarah [2]:275-279 dan Ali Imran [3]:130-131.
Umumnya para mufassir dengan mengutip dari al-Thabari berpendapat bahwa ayat al-Baqarah 275-279, khususnya ayat 275, turun disebabkan oleh pengamalan paman Nabi Muhammad saw, Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid bin Walid, yang bekerjasama meminjamkan uang kepada orang lain dari Tsaqif bani „Amr. Sehingga keduanya mempunyai banyak harta ketika Islam datang.
Sumber lain mengatakan bahwa banu 'Amr ibn Umair ibn Awf mengambil riba dari bani Mughirah. Apabila tiba waktu pembayaran yang telah dijanjikan, maka utusan datang ke bani Mughirah untuk mengambil tagihan. Ketika pada suatu waktu Bani Mungirah tidak mau membayar dan hal tersebut sampai kepada Rasulullah saw, beliau bersabda, “Ikhlaskanlah atau kalau tidak siksa yang pedih dari Allah.”. Sedangkan sebab turunnya QS. Ali Imran [3]:130-131, menurut satu riwayat dari 'Atha disebutkan bahwa, banu Tsaqif mengambil riba dari banu Mughirah. Apabila tiba waktu pembayaran datang utusan dari banu Tsaqif datang untuk menagih. Kalau tidak membayar, disuruh menunda dengan syarat menambah sejumlah tambahan.
Senada dengan hal tersebut, Mujahid meriwayatkan, bahwa seseorang di zaman Jahiliyyah berhutang kepada orang lain. Lalu yang berhutang (kreditur) berkata, “Akan saya tambah sekian jika kamu memberikan tempo kepadaku.” Maka si empunya piutang (debitur) memberikan tempo tersebut. Riwayat lain menyebutkan, bahwa di masyarakat pra-Islam, mereka biasa menggandakan pinjaman pada orangorang yang sangat membutuhkan (kesusahan), yang dengan pinjaman tertentu, orang yang meminjam tidak saja mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam, tetapi juga menambah dengan sejumlah tambahan yang sesuai dengan masa pinjamannya. Kalau si peminjam mempunyai uang untuk mengembalikan pinjaman dalam waktu cepat dan singkat, maka dia akan mengembalikan dengan jumlah tambahan yang relatif sedikit. Sebaliknya, kalau tidak mempunyai uang untuk mengembalikan dengan cepat, maka bisa ditunda, dengan syarat harus membayar uang tambahan yang lebih besar lagi.
3. Kondisi Sosio-Ekonomi Sebelum Turunnya Ayat Riba
Menurut Abdullah Saeed, larangan riba sebagaimana termuat dalam al-Qur'an telah didahului bentuk-bentuk larangan yang lainnya yang secara moral tidak dapat ditoleransi. Larangan ini tercermin dalam perilaku sosial ekonomi masyarakat Makkah pada saat itu, yang secara luas menimbulkan dampak kerugian yang besar dalam komunitasnya. Di mana al-Qur'an sangat menganjurkan masyarakat Makkah untuk menolong fakir miskin dan anak yatim yang ada di sekelilingnya. Menurut al-Qur'an bahwa barangsiapa yang tidak mendirikan shalat dan tidak memperhatikan fakir miskin akan diancam hukuman siksa neraka (QS. al-Muddatstsir [74]:43-44). Di samping itu, fakir miskin mempunyai bagian hak dari harta benda orang-orang kaya (QS. al-Ma„arij [70]:24-25). Karena di antara orang mendapat hukuman dari Allah karena mereka tidak mau memperhatikan serta menolong fakir miskin (QS. al-Haqqah [69]:34). Di samping itu, al-Qur'an menegaskan tentang pentingnya untuk menafkahkan (spending) harta benda untuk mengurangi beban penderitaan fakir miskin (QS. al-Baqarah [2]:262; al-Nisa‟ [4]:39; al-Ra„d [13]:22; al-Furqan [25]:67; Fathir [35]:29.
Anjuran untuk menafkahkan harta sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur'an memiliki peran penting untuk memperkuat pondasi keimanan umat Islam (QS. al-Anfal [8]:72; al-Hujurat [49]:15). Menafkahkan harta dapat dilaksanakan dalam bentuk hibah (pemberian) maupun sedekah. Apabila bentuk tersebut terasa berat untuk dilaksanakan, maka dapat dilakukan melalui peminjaman (hutang) dengan tanpa memungut kelebihan atau beban dari nilai pokok, yang dipinjamkan kepada pihak yang membutuhkan. Menurut al-Qur'an, bahwa jenis pinjaman yang demikian dinamakan dengan qardh al-hasan (pinjaman yang penuh kebijakan) (QS. al-Baqarah [2]:245). Pinjaman ini dilakukan untuk mengurangi beban penderitaan pihak-pihak yang membutuhkan, bukan untuk melakukan eksploitasi terhadap mereka. Al-Qur'an menggunakan term qardh al-hasan dalam versi yang mengindikasikan bahwa penerima dari pinjaman tersebut secara umum diberikan kepada orang-orang yang memang membutuhkan (QS. al-Baqarah [2]:245; al-Ma‟idah [5]:12; al-Hadid [57]:1, al-Kahf [18]; al-Taghabun [64]:17.
Al-Qur‟an telah memberikan pelajaran mengenai perilaku yang baik untuk menerima pengembalian pinjaman dalam bentuk jumlah tetap sama dengan nilai pokok yang dipinjamkan, serta mengajarkan untuk meringankan dan bahkan membebaskan seluruh beban hutang debitur, jika pihak yang memberi pinjaman (kreditur) mampu untuk melakukannya. Dalam al-Qur'an dijelaskan, ”lebih baik bagimu jika membebaskan sebagian atau semua hutang sebagai sedekah” (QS. al-Baqarah [2]:280).
Berdasarkan pengertian di atas, al-Qur'an memberikan perhatian yang mendalam terhadap masyarakat yang secara otomatis sangat lemah yang menekankan untuk membantu akan kebutuhan finansial mereka dengan tanpa memberi tambahan beban penderitaan mereka. Dalam konteks ini menunjukkan bahwa tuntunan yang demikian itu diperintahkan dalam kasus apabila pihak peminjam (debitur) terpaksa meminjam uang guna untuk mencukupi kebutuhan primernya.
Periodisasi Pengharaman Riba
Sebagaimana dimaklumi bahwa al-Qur’an terhadap sesutau yang menjadi sebuah adat kebiasaan suatu kaum, maka dalam pelarangan dan mengharamannya akan melalui proses yang bertahap. Demikian juga halnya dengan riba.
Riba adalah kebiasaan yang telah membudaya di kalangan masyarakat Arab jauh sebelum larangan tentang ini berlaku. Budaya ini jelas tidak akan bisa langsung bisa hilang di kalangan masyarakat Arab saat itu. Allah SWT dalam pengharaman riba di dalam Al-Quran dilakukan dengan bertahap. Tahap demi tahap dalam pengharaman ini menuju kepada keadaan masyarakat saat itu yang memang telah terbiasa melakukan muamalah ribawiyah atau transaksi dengan dasar riba untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda.
Secara umum ada 4 periode turunnya ayat tentang riba, 1 ayat turun di kota Mekah yang berarti ayat tersebut adalah makiyah dan 3 ayat lainnya turun di kota Madinah yang berati ayat tersebut adalah madaniyah.
Ayat yang turun di Kota Mekkah adalah:

Pada ayat ini dijelaskan bahwasanya Allah SWT membenci riba dan perbuatan riba tersebut tidaklah mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Pada ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT yang mengatakan bahwasanya riba itu haram. Artinya bahwa ayat ini hanya berupa peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif.
Periode kedua Allah SWT menurunkan ayat:

Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. Ayat ini merupakan kisah tentang orang-orang Yahudi. Allah SWT mengharamkan kepada mereka riba akan tetapi mereka tetap mengerjakan perbuatan ini. Pengharaman riba pada ayat ini adalah pengharaman secara tersirat tidak dalam bentuk qoth’i/tegas, akan tetapi berupa kisah pelajaran dari orang-orang Yahudi yang telah diperintahkan kepada mereka untuk meninggalkan riba tetapi mereka mereka tetap melakukannya, hal ini juga dijelaskan al-Maroghi bahwasanya sebagian nabi-nabi mereka telah melarang melakukan perbuatan riba.
Periode ketiga Allah SWT menurunkan ayat:

Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. Ayat ini menjelaskan kebiasaan orang Arab saat itu yang sering mengambil riba dengan berlipat ganda. Ayat ini telah secara jelas mengharamkan perbuatan riba, akan tetapi bentuk pengharaman pada ayat ini masih bersifat sebagian, yaitu kepada kebiasaan orang saat itu yang mengambil riba dengan berlipat ganda dari modal. Riba ini disebut dengan riba keji ( ربا فاحس ) yaitu riba dengan penambahan dari pokok modal dari hutang yang berlipat ganda.
Periode terakhir adalah periode pengharaman mutlak, yaitu ayat:

Demikian artikel mengenai Riba Dalam Pandangan Islam, mudah-mudahan apa yang sudah Saya sampaikan pada kesempatan ini bisa bermanfaat untuk kita semuanya. Sekian dan terimakasih.
Komentar0
Tinggalkan komentar Anda disini: