ZMedia Purwodadi

Mengenal Lebih Dekat Bank Syariah

Daftar Isi

 MlatenMania.com - Bank adalah lembaga perantara keuangan atau biasa disebut financial intermediary. Artinya, lembaga bank adalah lembaga yang dalam aktivitasnya berkaitan dengan masalah uang. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan alat pelancar terjadinya perdagangan yang utama. Kegiatan dan usaha bank akan selalu terkait dengan komoditas, antara lain:

Mengenal Lebih Dekat Bank Syariah

  1. Memindahkan uang
  2. Menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran
  3. Mendiskonto surat wesel, surat order maupun surat berharga lainnya
  4. Membeli dan menjual surat-surat berharga
  5. Membeli dan menjual cek, surat wesel, kertas dagang
  6. Memberi jaminan bank.

Bank Syariah

1. Pengertian Bank Syariah

Bank Syariah merupakan lembaga intermediasi dan penyedia jasa keuangan yang bekerja berdasarkan etika dan sistem nilai Islam, khususnya yang bebas dari bunga (riba), bebas dari kegiatan spekulatif yang nonproduktif seperti perjudian (maysir), bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan meragukan (gharar), berprinsip keadilan, dan hanya membiayai kegiatan usaha yang halal. Bank Syariah sering dipersamakan dengan bank tanpa bunga. Bank tanpa bunga merupakan konsep yang lebih sempit dari bank Syariah, ketika sejumlah instrumen atau operasinya bebas dari bunga. Bank Syariah, selain menghindari bunga, juga secara aktif turut berpartisipasi dalam mencapai sasaran dan tujuan dari ekonomi Islam yang berorientasi pada kesejahteraan sosial.

2. Prinsip-prinsip Dasar Perbankan Syariah

Dalam operasinya, bank Syariah mengikuti aturan-aturan dan norma-norma Islam, seperti yang disebutkan dalam pengertian di atas, yaitu:

  1. Bebas dari bunga (riba);
  2. Bebas dari kegiatan spekulatif yang non produktif seperti
  3. perjudian (maysir);
  4. Bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan meragukan (gharar);
  5. Bebas dari hal-hal yang rusak atau tidak sah (bathil); dan
  6. Hanya membiayai kegiatan usaha yang halal.

Secara singkat empat prinsip pertama biasa disebut anti MAGHRIB (maysir, gharar, riba, dan bathil).

Pelarangan Riba

Bank Syariah beroperasi tidak berdasarkan bunga, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh bank konvensional, karena bunga mengandung unsur riba yang jelas-jelas dilarang dalam Al Qur’an. Bank syariah beroperasi dengan menggunakan prinsip lain yang diperbolehkan oleh Syariah. Bagi Muslim yang tidak menghiraukan larangan ini, Allah dan Nabi Muhammad s.a.w. menyatakan perang dengan mereka (QS 2:279).

Riba berarti ‘tambahan’, yaitu pembayaran “premi” yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman di samping pengembalian pokok, yang ditetapkan sebelumnya atas setiap jenis pinjaman. Dalam pengertian ini riba memiliki persamaan makna dan kepentingan dengan bunga (interest) menurut ijma’ ‘konsensus’ para fuqaha tanpa kecuali (Chapra, 1985). Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil (Saeed, 1996). Dikatakan bathil karena pemilik dana mewajibkan peminjam untuk membayar lebih dari yang dipinjam tanpa memperhatikan apakah peminjam mendapat keuntungan atau mengalami kerugian.

Riba dilarang dalam Islam secara bertahap, sejalan dengan kesiapan masyarakat pada masa itu, seperti juga tentang pelarangan yang lain seperti judi dan minuman keras. Tahap pertama disebutkan bahwa riba akan menjauhkan kekayaan dari keberkahan Allah, sedangkan sedekah akan meningkatkan keberkahan berlipat ganda (QS 30: 39). Tahap kedua, pada awal periode Madinah, praktek riba dikutuk dengan keras (QS 4: 161), sejalan dengan larangan pada kitabkitab terdahulu. Riba dipersamakan dengan mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar, dan mengancam kedua belah pihak dengan siksa Allah yang amat pedih. Tahap ketiga, sekitar tahun kedua atau ketiga Hijrah, Allah menyerukan agar kaum muslimin menjauhi riba jika mereka menghendaki kesejahteraan yang sebenarnya sesuai Islam (QS 3: 130-132). Tahap terakhir, menjelang selesainya misi Rasulullah s.a.w., Allah mengutuk keras mereka yang mengambil riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menuntut kaum muslimin agar menghapuskan seluruh utang piutang yang mengandung riba, menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan mengikhlaskan kepada peminjam yang mengalami kesulitan. Dalam beberapa Hadits, Rasulullah s.a.w. mengutuk semua yang terlibat dalam riba, termasuk yang mengambil, memberi, dan mencatatnya. Beliau s.a.w. menyamakan dosa riba sama dengan dosa zina 36 kali lipat atau setara dengan orang yang menzinahi ibunya sendiri (Chapra, 1985). Riba tidak hanya dilarang dalam ajaran Islam, tetapi juga dilarang dalam ajaran Yahudi (Eksodus 22: 25, Deuteronomy 23: 19, Levicitus 35: 7, Lukas 6: 35), ajaran Kristen (Lukas 6: 34-35, pandangan pendeta awal/abad I-XII, pandangan sarjana Kristen/abad XII-XV, pandangan reformis Kristen/abad XVI-1836) , maupun ajaran Yunani seperti yang disampaikan oleh Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM).

Tabel perbedaan antara bunga dan bagi hasil:

Mengenal Lebih Dekat Bank Syariah

Alternatif yang ditawarkan oleh Islam sebagai pengganti riba/bunga yang utama adalah praktek bagi hasil, ketika peminjam dan yang meminjamkan berbagi dalam risiko dan keuntungan dengan pembagian sesuai kesepakatan. Dalam hal ini tidak ada pihak yang ditindas (dizalimi) oleh yang lain. Perbedaan antara bunga dan bagi hasil dapat dibaca pada tabel di atas.

Pelarangan Maysir

Istilah maysir pada awalnya dipakai untuk permainan anak panah pada jaman sebelum Islam, ketika tujuh peserta bertaruh untuk mendapatkan hadiah yang telah ditentukan (Al-Omar dan Abdel-Haq, 1996). Maysir secara harfiah berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa kerja. Dalam Islam, maysir yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang mengandung unsur judi, taruhan, atau permainan berrisiko. Judi dalam segala bentuknya dilarang dalam syariat Islam secara bertahap. Tahap pertama, judi merupakan kejahatan yang memiliki mudharat (dosa) lebih besar dari pada manfaatnya (QS 2: 219). Tahap berikutnya, judi dan taruhan dengan segala bentuknya dilarang dan dianggap sebagai perbuatan zalim dan sangat dibenci (QS 5: 90-91). Selain mengharamkan bentuk-bentuk judi dan taruhan yang jelas, hukum Islam juga mengharamkan setiap aktivitas bisnis yang mengandung unsur judi (Shiddiqi, 1985).

Pelarangan Gharar

Gharar secara harfiah berarti akibat, bencana, bahaya, risiko, dan sebagainya. Dalam Islam, yang termasuk gharar adalah semua transaksi ekonomi yang melibatkan unsur ketidakjelasan, penipuan atau kejahatan. Hal itu dikutuk oleh Islam dalam Al-Qur’an (QS 6:152; 83: 1-5; dan 4: 29) dan Hadits. Dalam dunia bisnis, gharar artinya menjalankan suatu usaha secara buta tanpa memiliki pengetahuan yang cukup, atau menjalankan suatu transaksi yang risikonya berlebihan tanpa mengetahui dengan pasti apa akibatnya atau memasuki kancah risiko tanpa memikirkan konsekuensinya, meskipun unsur ketidakpastian, yang tidak besar, boleh saja ada kalau memang tidak bisa ditinggalkan. Afzal-ur-Rahman (1990) membagi konsep gharar menjadi dua:

  • Gharar karena adanya unsur risiko yang mengandung keraguan, probabilitas, dan ketidakpastian secara dominan; dan
  • Gharar karena adanya unsur yang meragukan yang dikaitkan dengan penipuan atau kejahatan oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya.

Semua transaksi yang mengandung unsur ketidakjelasan dalam jumlah, kualitas, harga, dan waktu, risiko, serta penipuan atau kejahatan termasuk dalam kategori gharar. Dalam semua bentuk gharar ini, keadaan yang sama-sama rela yang dicapai bersifat sementara, yaitu sementara keadaannya masih tidak jelas bagi kedua belah pihak. Di kemudian hari ketika keadaannya telah menjadi jelas, salah satu pihak (penjual atau pembeli) akan merasa terzalimi, walaupun pada awalnya tidak demikian. Beberapa contoh transaksi yang termasuk dalam kategori gharar antara lain:

  • Penjualan barang yang belum ditangan penjual, seperti buahbuahan yang belum matang, ikan atau burung yang belum ditangkap, dan hewan yang masih dalam kandungan;
  • Penjualan di masa datang (future trading);
  • Penjualan barang yang sulit dipindahtangankan;
  • Penjualan yang belum ditentukan harga, jumlah, dan kualitasnya; dan
  • Penjualan yang menguntungkan satu pihak.

3. Pelarangan Riba, Maysir, dan Gharar dalam Perspektif Ekonomi

Menurut Qardhawi (2002), hikmah eksplisit yang tampak jelas di balik pelarangan riba adalah pewujudan persamaan yang adil di antara pemilik harta (modal) dengan usaha, serta pemikulan risiko dan akibatnya secara berani dan penuh rasa tanggung jawab. Prinsip keadilan dalam Islam ini tidak memihak kepada salah satu pihak, melainkan keduanya berada pada posisi yang seimbang.

Lebih jauh lagi, konsep pelarangan riba dan maysir (judi) dalam Islam dapat dijelaskan keunggulannya secara ekonomis dibandingkan dengan konsep ekonomi konvensional. Riba secara ekonomis lebih merupakan sebuah upaya untuk mengoptimalkan aliran investasi dengan cara memaksimalkan kemungkinan investasi melalui pelarangan adanya pemastian (bunga).

Semakin tinggi tingkat suku bunga, maka semakin besar kemungkinan aliran investasi yang terbendung. Hal ini dapat diumpamakan seperti sebuah bendungan. Semakin tinggi dinding bendungan, maka semakin besar aliran air yang terbendung. Dengan pelarangan riba, dinding yang membatasi aliran investasi tidak ada, sehingga alirannya lancar tanpa halangan. Hal ini terlihat jelas pada saat Indonesia dilanda krisis keuangan dan perbankan pada 1997-1998. Pada saat itu suku bunga perbankan melambung sangat tinggi mencapai 60%. Dengan suku bunga setinggi itu bisa dikatakan hampir tidak ada orang yang berani meminjam ke bank untuk investasi.

Mengenal Lebih Dekat Bank Syariah
Aliran investasi yang terbendung

Secara grafis dapat pula ditunjukkan bahwa meningkatnya suku bunga dari y% menjadi x% telah menurunkan jumlah kemungkinan investasi dari Q1 menjadi Q2 (baca grafik 1). Kenaikan suku bunga ini telah membendung aliran investasi sebesar Q1-Q2. Karena hal inilah, maka riba dilarang dalam Islam (selain alasan moralitas).

Mengenal Lebih Dekat Bank Syariah
Grafik hubungan tingkat bunga dan investasi

Sementara itu, judi secara ekonomis lebih merupakan sebuah upaya agar aktivitas investasi yang terjadi memiliki korelasi nyata terhadap sektor riil dalam rangka meningkatkan Aggregate Supply ‘penawaran agregat’. Judi dapat dikatakan sebagai suatu bentuk investasi yang tidak produktif karena tidak terkait langsung dengan sektor riil dan tidak memberikan dampak meningkatkan penawaran agregat barang dan jasa. Karena hal inilah, maka judi dilarang dalam Islam (selain alasan moralitas).

Mengenal Lebih Dekat Bank Syariah
Aliran investasi dalam sistem Islam dan konvensional

Dengan dilarangnya riba dan judi dalam Islam, aliran investasi menjadi optimal dan tersalur lancar ke sektor produktif. Sementara itu, dalam sistem konvensional sistem bunga membuat aliran investasi menjadi tidak optimal dan tidak lancar karena sebagiannya terhambat, sedangkan dengan tidak adanya pelarangan judi, sebagian investasi tidak tersalur ke sektor produktif.

Sementara itu, pelarangan gharar dimaksudkan untuk mengutamakan transparansi dalam bertransaksi dan kegiatan operasional lainnya dan menghindari ketidakjelasan. Dalam dunia modern hal ini sudah diantisipasi.

Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional

Dibandingkan dengan bank konvensional, bank syariah memiliki beberapa karakteristik esensial yang membedakannya dengan bank konvensional, yang secara ringkas dapat dibaca pada Tabel di bawah ini:

Mengenal Lebih Dekat Bank Syariah

Fungsi Bank Syariah

Bank syariah mempunyai dua peran utama, yaitu sebagai badan usaha (tamwil) dan badan sosial (maal). Sebagai badan usaha, bank syariah mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai manajer investasi, investor, dan jasa pelayanan. Sebagai manajer investasi, bank syariah melakukan penghimpunan dana dari para investor/nasabahnya dengan prinsip wadi'ah yad dhamanah (titipan), mudharabah (bagi hasil) atau ijarah (sewa). Sebagai investor, bank syariah melakukan penyaluran dana melalui kegiatan investasi dengan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa. Sebagai penyedia jasa perbankan, bank syariah menyediakan jasa keuangan, jasa nonkeuangan, dan jasa keagenan. Pelayanan jasa keuangan antara lain dilakukan dengan prinsip wakalah (pemberian mandat), kafalah (bank garansi), hiwalah (pengalihan utang), rahn (jaminan utang atau gadai), qardh (pinjaman kebajikan untuk dana talangan), sharf (jual beli valuta asing), dan lain-lain. Pelayanan jasa nonkeuangan dalam bentuk wadi'ah yad amanah (safe deposit box) dan pelayanan jasa keagenan dengan prinsip mudharabah muqayyadah. Sementara itu, sebagai badan sosial, bank syariah mempunyai fungsi sebagai pengelola dana sosial untuk penghimpunan dan penyaluran zakat, infak, dan sadaqah (ZIS), serta penyaluran qardhul hasan (pinjaman kebajikan).

Mengenal Lebih Dekat Bank Syariah

Kegiatan Usaha Bank Syariah

Bank syariah merupakan bank dengan prinsip bagi hasil yang merupakan landasan utama dalam segala operasinya, baik dalam pengerahan dananya maupun dalam penyaluran dananya (dalam perbankan syariah penyaluran dana biasa disebut dengan pembiayaan). Oleh karena itu, jenis-jenis penghimpunan dana dan pemberian pembiayaan pada bank syariah terutama juga menggunakan prinsip bagi hasil. Selain prinsip bagi hasil, bank syariah juga mempunyai alternatif penghimpunan dana dan pemberian pembiayaan nonbagi hasil. Dalam penghimpunan dana, bank syariah dapat juga menggunakan prinsip wadi’ah, qardh, maupun ijarah. Dalam pembiayaan, bank syariah dapat juga menggunakan prinsip jual beli dan sewa (lease). Selain itu, bank syariah juga menyediakan berbagai jasa keuangan seperti wakalah, kafalah, hiwalah, rahn, qardh, sharf, dan ujr.

Mengenal Lebih Dekat Bank Syariah

Jenis Kegiatan Usaha

Secara garis besar jenis kegiatan usaha bank syariah dapat dibagi ke dalam penghimpunan dana, penyaluran dana, pelayanan jasa, dan kegiatan sosial.

1) Penghimpunan Dana

Dalam penghimpunan dana, bank syariah melakukan mobilisasi dan investasi tabungan untuk pembangunan perekonomian dengan cara yang adil sehingga keuntungan yang adil dapat dijamin bagi semua pihak. Tujuan mobilisasi dana merupakan hal penting karena Islam secara tegas mengutuk penimbunan tabungan dan menuntut penggunaan sumber dana secara produktif dalam rangka mencapai tujuan sosial-ekonomi Islam. Dalam hal ini, bank syariah melakukannya tidak dengan prinsip bunga (riba), melainkan dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, terutama mudharabah (bagi hasil) dan wadi’ah (titipan). Sumber dana bank syariah selain dari kegiatan penghimpunan dana, tentunya juga dari modal disetor sehingga secara keseluruhan sumber dana bank syariah dapat dibagi menjadi:

  • Modal;
  • Rekening Giro;
  • Rekening Tabungan;
  • Rekening Investasi Umum;
  • Rekening Investasi Khusus; dan
  • Obligasi Syariah.

(a) Modal

Bagian besar dari sumber dana bank syariah berasal dari modal karena bank syariah pada dasarnya adalah sistem Islam yang berorientasi modal. Rasio yang kecil dari modal terhadap total sumber dana terbukti bukan merupakan praktek yang baik dari bank. Bank syariah lebih baik menghindar dari masalah kurangnya kecukupan modal sejak awal. Hal ini merupakan hal yang tidak sehat yang terjadi di perbankan konvensional (Chapra, 1985). Modal merupakan dana yang diserahkan oleh para pemilik (owner) sebagai bagian keikutsertaannya dalam usaha bank syariah. Sebagai buktinya, pemilik akan menerima sejumlah saham sesuai dengan porsi keikutsertaannya. Setiap tahun pemegang saham akan mendapatkan bagian bagi hasil usaha dalam bentuk dividen. Bentuk penyertaan modal dapat dilakukan dengan musyarakah fi sahm asy-syarikah atau equity participation.

(b) Rekening Giro

Bank syariah menerima simpanan dari nasabah dalam bentuk rekening giro (current account) untuk keamanan dan kemudahan pemakaiannya dengan prinsip al-wadi’ah yad-dhamanah (singkatnya wadi'ah) atau titipan. Wadi’ah merupakan perjanjian perwakilan untuk tujuan melindungi harta seseorang. Dalam hal ini, bank dapat mempergunakan dana nasabah selama tidak ditarik, sementara bank memberikan garansi bahwa nasabah dapat menarik dananya sewaktu-waktu dengan menggunakan berbagai fasilitas yang disediakan bank, seperti cek, kartu ATM, dan sebagainya tanpa biaya. Dana yang terhimpun dalam rekening giro tidak dapat digunakan bank untuk pembiayaan bagi hasil karena sifatnya yang jangka pendek, tetapi dapat digunakan bank untuk kebutuhan likuiditas bank dan untuk transaksi jangka pendek. Keuntungan yang diperoleh bank dari penggunaan dana ini menjadi milik bank.

(c) Rekening Tabungan

Bank Syariah menerima simpanan dari nasabah dalam bentuk rekening tabungan (savings account) untuk keamanan dan kemudahan pemakaian, seperti rekening giro tetapi tidak sefleksibel rekening giro karena nasabah tidak dapat menarik dananya dengan cek. Prinsip yang digunakan dapat berupa:

  • Wadi’ah, atau titipan;
  • Qardh, atau pinjaman kebajikan; atau
  • Mudharabah, atau bagi hasil.

Ada sedikit perbedaan antara wadi'ah yang digunakan untuk rekening tabungan dan wadi’ah yang digunakan untuk rekening giro. Dalam wadi'ah untuk rekening tabungan, bank dapat memberikan bonus kepada nasabah dari keuntungan yang diperoleh bank karena bank lebih leluasa untuk menggunakan dana ini untuk tujuan mendapatkan keuntungan. Qardh merupakan pinjaman kebajikan. Dalam hal ini, bank seperti mendapat pinjaman tanpa bunga dari deposan. Bank dapat menggunakan dana ini untuk tujuan apa saja, dan dari keuntungan yang diperoleh bank dapat memberikan bagian keuntungan kepada deposan berupa uang atau nonuang (hal ini jarang terlihat dalam praktek). Selain itu, bank juga dapat mengintegrasikan rekening tabungan dengan rekening investasi dengan prinsip mudharabah al-muthlaqah, atau singkatnya mudharabah, dengan bagi hasil yang disepakati bersama. Mudharabah merupakan prinsip bagi hasil dan bagi kerugian, ketika nasabah sebagai pemilik modal (shahibul maal) menyerahkan uangnya kepada bank sebagai pengusaha (mudharib) untuk diusahakan. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, dan kerugian ditanggung oleh pemilik dana atau nasabah. Dalam prakteknya, tabungan wadi’ah dan mudharabah yang biasa digunakan secara luas oleh bank syariah. Garis besar perbedaan antara tabungan wadi'ah dan tabungan mudharabah dapat dibaca pada Tabel di bawah ini:

Mengenal Lebih Dekat Bank Syariah
Perbandingan Bank Syariah dan Bank Mudharabah

(d) Rekening Investasi Umum/Investasi Tidak Terikat

Bank syariah menerima simpanan deposito berjangka (pada umumnya untuk satu bulan ke atas) ke dalam rekening investasi umum (general investment account) dengan prinsip mudharabah al-muthlaqah. Investasi umum ini sering disebut juga sebagai investasi tidak terikat. Nasabah rekening investasi lebih bertujuan untuk mencari keuntungan daripada untuk mengamankan uangnya. Dalam mudharabah al-muthlaqah, bank sebagai mudharib mempunyai kebebasan mutlak dalam pengelolaan investasinya. Jangka waktu investasi dan bagi hasil disepakati bersama. Apabila bank menghasilkan keuntungan akan dibagi sesuai kesepakatan awal. Apabila bank mengalami kerugian, bukan karena kelalaian bank, kerugian ditanggung oleh nasabah deposan sebagai shahibul maal. Deposan dapat menarik dananya dengan pemberitahuan terlebih dahulu.

(e) Rekening Investasi Khusus/Ivestasi Terikat

Selain rekening investasi umum, bank syariah juga menawarkan rekening investasi khusus (special investment account) kepada nasabah yang ingin menginvestasikan dananya langsung dalam proyek yang disukainya yang dilaksanakan oleh bank dengan prinsip mudharabah al-muqayyadah. Investasi khusus ini sering disebut juga sebagai investasi terikat. Rekening investasi khusus ini biasanya ditujukan kepada para nasabah/investor besar dan institusi. Dalam mudharabah al-muqayyadah bank menginvestasikan dana nasabah ke dalam proyek tertentu yang diinginkan nasabah. Jangka waktu investasi dan bagi hasil disepakati bersama dan hasilnya langsung berkaitan dengan keberhasilan proyek investasi yang dipilih.

(f) Obligasi Syariah

Bank syariah dapat pula melakukan pengerahan dana dengan menerbitkan obligasi syariah. Dengan obligasi syariah, bank mendapatkan alternatif sumber dana berjangka panjang (lima tahun atau lebih) sehingga dapat digunakan untuk pembiayaan pembiayaan berjangka panjang. Obligasi syariah ini dapat menggunakan beberapa prinsip yang dibolehkan syariah, seperti mudharabah (prinsip bagi hasil) dan ijarah (prinsip sewa).

Di luar penghimpunan dana, kegiatan usaha bank syariah dapat digolongkan ke dalam transaksi untuk mencari keuntungan (tijarah), dan transaksi tidak untuk mencari keuntungan (tabarru’). Transaksi untuk mencari keuntungan dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu transaksi yang mengandung kepastian (natural certainty contracts/NCC), yaitu kontrak dengan prinsip nonbagi hasil (jual-beli dan sewa), dan transaksi yang mengandung ketidakpastian (natural uncertainty contracts/NUC), yaitu kontrak dengan prinsip bagi hasil. Transaksi NCC berlandaskan pada teori pertukaran, sedangkan NUC berlandaskan pada teori percampuran (Karim, 2004). Semua transaksi untuk mencari keuntungan tercakup dalam penyaluran dana, sedangkan transaksi tidak untuk mencari keuntungan tercakup dalam jasa pelayanan (fee based income). Skema ringkasnya dapat dibaca pada gambar di bawah ini:

Mengenal Lebih Dekat Bank Syariah

2) Penyaluran Dana

Dalam menyalurkan dana, bank syariah dapat memberikan berbagai bentuk pembiayaan (baca gambar 6). Pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah mempunyai lima bentuk utama (Khan, 1995), yaitu mudharabah dan musyarakah (dengan pola bagi hasil), murabahah dan salam (dengan pola jual beli), dan ijarah (dengan pola sewa operasional maupun finansial). Selain kelima bentuk pembiayaan ini, terdapat berbagai bentuk pembiayaan yang merupakan turunan langsung atau tidak langsung dari ke lima bentuk pembiayaan di atas. Bank syariah juga memiliki bentuk produk pelengkap yang berbasis jasa (fee-based services) seperti qardh dan jasa keuangan lainnya.

(a) Pembiayaan Bagi Hasil

Bentuk pembiayaan bank syariah yang utama dan paling penting yang disepakati oleh para ulama adalah pembiayaan dengan prinsip bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah. Prinsipnya adalah al-ghunm bi’l-ghurm atau al-khar‚j bi’l-daman, yang berarti bahwa tidak ada bagian keuntungan tanpa ambil bagian dalam risiko (Al-Omar dan Abdel-Haq, 1996), atau untuk setiap keuntungan ekonomi riil harus ada biaya ekonomi riil (Khan, 1995). Ciri utama pembiayaan bagi hasil adalah bahwa keuntungan dan kerugian ditanggung bersama oleh pemilik dana maupun pengusaha. Konsep pembiayaan bagi hasil berlandaskan pada beberapa prinsip dasar (Usmani, 1999):

  • Pembiayaan bagi hasil tidak berarti meminjamkan uang, tetapi merupakan partisipasi dalam usaha. Dalam hal musyarakah, keikutsertaan aset dalam usaha hanya sebatas proporsi pembiayaan masing-masing pihak.
  • Investor atau pemilik dana harus ikut menanggung risiko kerugian usaha sebatas proporsi pembiayaannya.
  • Para mitra usaha bebas menentukan, dengan persetujuan bersama, rasio keuntungan untuk masing-masing pihak, yang dapat berbeda dari rasio pembiayaan yang disertakan.
  • Kerugian yang ditanggung oleh masing-masing pihak harus sama dengan proporsi investasinya.

(b) Pembiayaan Nonbagi Hasil

Selain bentuk pembiayaan utama dengan prinsip bagi hasil, bank syariah memiliki bentuk-bentuk pembiayaan dengan prinsip jual beli, sewa operasional, dan jasa (fee-based services). Bentuk-bentuk pembiayaan ini membuat bank syariah tidak hanya berfungsi sebagai bank investasi (investment bank), tetapi juga berfungsi, antara lain, sebagai perusahaan dagang (merchant bank) dan leasing company sehingga bank syariah lebih cocok disebut sebagai bank universal (multi-purpose bank). Bentuk-bentuk pembiayaan nonbagi hasil yang utama adalah murabahah dan salam (dengan prinsip jual beli), dan ijarah (dengan prinsip sewa operasional), serta qardh yang merupakan salah satu bentuk pembiayaan pelengkap yang berbasis jasa (feebased services).

Secara skematis, pembiayaan nonbagi hasil dapat dibaca pada gambar di bawah. Jual beli tunai adalah transaksi jual beli ketika pembayaran dilakukan bersamaan dengan penyerahan barang. Murabahah adalah transaksi jual beli dengan pembayaran tangguh/dicicil. Salam adalah transaksi jual beli berupa pemesanan barang dengan pembayaran di muka. Istishna adalah transaksi jual beli berupa pemesanan barang dengan pembayaran bertahap. Ijarah adalah transaksi sewa menyewa barang tanpa alih kepemilikan di akhir periode. Ijarah wa Iqtina atau Ijarah muntahiya bittamlik (IMB) adalah transaksi sewa beli dengan perjanjian untuk menjual atau menghibahkan obyek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri dengan alih kepemilikan obyek sewa.

Mengenal Lebih Dekat Bank Syariah

Dari skema pada gambar di atas, dapat ditarik kesimpulan beberapa ciri transaksi jual beli:

  • Jual beli dengan pembayaran tunai di awal meliputi jual beli tunai dan salam;
  • Jual beli dengan pembayaran bertahap/dicicil meliputi murabahah dan istishna;
  • Jual beli dengan penyerahan barang di awal meliputi jual beli tunai dan murabahah; dan
  • Jual beli dengan penyerahan barang di akhir meliputi salam dan istishna.

Demikian artikel mengenai Mengenal Lebih Dekat Bank Syariah, mudah-mudahan bermanfaat untuk semuanya. Sekian dan terimakasih.

Rifai Sugiono
Rifai Sugiono Hobi nulis meskipun masih berantakan

Posting Komentar