TpG6BSAiBUYlBUY5TUr5GfriGi==

Mengenal Pahlawan Revolusi Indonesia

 MlatenMania.com - Bulan September mengingatkan bangsa Indonesia akan peristiwa kelam, yakni peristiwa Gerakan 30 September dengan dengan gugurnya sejumlah perwira militer karena kesetiaannya pada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Para perwira militer tersebut adalah Jenderal (Anm.) Ahmad Yani, Letnan Jenderal (Anm.) Raden Suprapto, Letnan Jenderal (Anm.) Mas Tirtodarmo Haryono, Letnan Jenderal (Anm.) Siswondo Parman, Mayor Jenderal (Anm.) Donald Isaac Panjaitan, Mayor Jenderal (Anm.) Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Czi (Anm.) Pierre Andries Tendean. Dan melalui Keppres No. 111/KOTI/1965 para perwira tersebut ditetapkan menjadi pahlawan revolusi.

Mengenal Pahlawan Revolusi Indonesia

Pahlawan Revolusi adalah gelar pahlawan yang diberikan kepada sejumlah perwira militer yang gugur pada peristiwa G30S tahun 1965. G30S merupakan kepanjangan dari Geraka 30 September atau sering juga di sebut GESTAPU gerakan september tiga puluh, gelar ini diakui juga sebagai Pahlawan Nasional. Ada 10 pahlawan revolusi tersebut:

10 Pahlawan Revolusi Indonesia

1. Jenderal Achmad Yani

Mengenal Pahlawan Revolusi Indonesia
Jenderal Ahmad Yani


Jenderal Achmad Yani yang lahir di Jenar, Purworejo pada tanggal 19 Juni 1922, ini adalah putra dari Sarjo bin Suharyo (ayah) dan Murtini (ibu). Pendidikan formal diawalinya di HIS (setingkat Sekolah Dasar) Bogor, yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke MULO (setingkat Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd. Bogor. Dari sana ia tamat pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum) bagian B Afd. Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan dengan adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Ia kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif lagi di Bogor. Dari sana ia mengawali karier militernya dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan, antara lain berhasil melucuti senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, dirinya diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. Selanjutnya karier militernya pun semakin cepat menanjak. Prestasi lain diraihnya ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi. Pasukannya yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk menghancurkan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang mengacau di daerah Jawa Tengah. Ketika itu dibentuklah pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus. Alhasil, pasukan DI/TII pun berhasil ditumpasnya. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia ditarik ke Staf Angkatan Darat. Pada tahun 1955, ia disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Dan pada tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan selama dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris. Pada tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Achmad Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus, untuk memimpin penumpasan pemberontakan PRRI tersebut. Ia juga berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Sejak itu namanya pun semakin cemerlang. Hingga pada tahun 1962, ia yang waktu itu berpangkat Letnan Jenderal diangkat menjadi Men/Pangad menggantikan Jenderal A.H. Nasution yang naik jabatan menjadi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab).

2. Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto

Mengenal Pahlawan Revolusi Indonesia
Letnan Jenderal R. Suprapto


Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920, ini boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar. Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941. Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie di Bandung. Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena pasukan Jepang sudah keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tapi kemudian ia berhasil melarikan diri. Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat. Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya. Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut menjadi salah satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu, pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang pernah menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut. Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas. Pertamatama ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang.

3. Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono

Mengenal Pahlawan Revolusi Indonesia
Letnan Jenderal M.T. Haryono


Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono lahir di Surabaya, 20 Januari 1924 merupakan salah satu dari dari Tujuh Pahlawan Revolusi, sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat. Seorang perwira yang fasih berbicara dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman. Kemampuannya itu membuat dirinya menjadi perwira penyambung lidah yang sangat dibutuhkan dalam berbagai perundingan. Perwira kelahiran Surabaya ini pernah menjadi Sekretaris Delegasi Militer Indonesia pada Konferensi Meja Bundar, Atase Militer RI untuk Negeri Belanda dan terakhir sebagai Deputy III Menteri/ Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor. Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia. Tenaga M.T. Haryono memang sangat dibutuhkan dalam berbagai perundingan antara pemerintah RI dengan pemerintah Belanda maupun Inggris. Hal tersebut disebabkan karena kemampuannya berbicara tiga bahasa internasional yakni bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman.

4. Letjen. Anumerta Siswondo Parman

Mengenal Pahlawan Revolusi Indonesia
Letnan Jenderal Siswondo Parman


Letjen. Anumerta Siswondo Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agustus 1918. Pendidikan umum yang pernah diikutinya adalah sekolah tingkat dasar, sekolah menengah, dan Sekolah Tinggi Kedokteran. Namun sebelum menyelesaikan dokternya, tentara Jepang telah menduduki Republik sehingga gelar dokter pun tidak sampai berhasil diraihnya. Setelah tidak bisa meneruskan sekolah kedokteran, ia sempat bekerja pada Jawatan Kenpeitai. Di sana ia dicurigai Jepang sehingga ditangkap, namun tidak lama kemudian dibebaskan kembali. Sesudah itu, ia malah dikirim ke Jepang untuk mengikuti pendidikan pada Kenpei Kasya Butai. Sekembalinya ke tanah air ia kembali lagi bekerja pada Jawatan Kempeitai. Awal kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yaitu Tentara RI yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan. Pada akhir bulanDesember, tahun 1945, ia diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara (PT) di Yogyakarta. Selama Agresi Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang gerilya. 

Pada bulan Desember tahun 1949 ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya. Salah satu keberhasilannya saat itu adalah membongkar rahasia gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang akan melakukan operasinya di Jakarta di bawah pimpinan Westerling. Selanjutnya, pada Maret tahun 1950, ia diangkat menjadi kepala Staf G. Dan setahun kemudian dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan pada Military Police School. Sekembalinya dari Amerika Serikat, ia ditugaskan di Kementerian Pertahanan untuk beberapa lama kemudian diangkat menjadi Atase Militer RI di London pada tahun 1959.

5. Mayor Jendral. D.I. Panjaitan

Mengenal Pahlawan Revolusi Indonesia
Mayor Jenderal D.I. Panjaitan

Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan (lahir di Balige, Sumatera Utara, 19 Juni 1925 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun) adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 9 Juni 1925. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya. Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad).

6. Mayor Jendral TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo

Mengenal Pahlawan Revolusi Indonesia
Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo

Mayor Jendral TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo (lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 28 Agustus 1922-meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43 tahun) adalah seorang perwira tinggi TNI-AD. Brigjen Sutoyo yang pernah menjadi atase militer di Inggris pada 1956-1959 termasuk dalam petinggi militer yang aktif dalam Operasi Budhi. Operasi ini sangat terkenal pada masa itu karena termasuk gerakan ”pembersihan” terhadap pejabat tinggi negara yang berasal dari kalangan militer. Isu Dewan Jenderal berimbas pada karir Sutoyo. Ada suatu bocoran dari ajudan Brigjen Sutoyo, yakni Letda Sutarno. Sebagaimana dikatakan Nani Sutoyo, anak kedua Brigjen Sutoyo, Sutarno menyebutkan bahwa sesungguhnya sang jenderal tak lama lagi hendak diangkat sebagai jaksa agung. Surat pengangkatannya sudah ada dan tinggal menunggu pengesahan formal. Namun, nama Sutoyo yang disebut-sebut masuk dalam lingkaran isu Dewan Jenderal membuat dirinya terpental. Sebuah isu yang sebenarnya absurd (Menpangad Letjen A. Yani pernah menampik adanya Dewan Jenderal, yang ada menurut dia hanya Wanjakti atau Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi). Pada medio 1964, Hario Kecik pernah berbincang dengan Presiden Soekarno perihal perwira jujur dan bersih yang akan ikut membantu membenahi manajemen di lingkungan TNI AD. Hario menyebutkan dua nama yang amat ia percayai. Yakni, S. Parman dan Sutoyo Siswomihardjo. Sutoyo mengawali karirnya di militer pada 1945 sebagai anggota Polisi Militer dengan pangkat letnan dua. Pada 1948-1949 ia menjadi kepala staf Corps Polisi Militer (CPM) dengan pangkat kapten. Karirnya berlanjut sebagai kepala staf Markas Besar Polisi Militer di Jakarta pada 1952-1954. Ia hobi melukis. Sutoyo juga pernah menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto.

7. Kapten CZI Anumerta Pierre Andreas Tendean

Mengenal Pahlawan Revolusi Indonesia
Kapten Czi Pierre Andreas Tendean

Kapten CZI Anumerta Pierre Andreas Tendean (lahir 21 Februari 1939-meninggal 1 Oktober 1965 pada umur 26 tahun) adalah Seorang perwira militer Indonesia. Seorang bernama Pierre Andreas Tendean adalah seorang pahlawan revolusi, Tandean sendiri dipromosikan menjadi seorang kapten anumerta telah dirinya sudah meninggal. Ia kadal seorang anak dari dokter asal Minahasa dan ibu seorang Indo peranci. Ia juga memiliki dua orang saudara. Ia bersekolah hingga tamat SMA di Semarang. Selanjutnya ia masuk ke akademi teknik angkatan darat atau ATEKAD di Bandung hingga lulus. Minatnya menjadi seorang intelijen membuatnya bersekolah lagi di sekolah intelijen di kota Bogor waktu itu. Walaupun ayahnya adalah seorang dokter namun ia lebih memilih terjun ke dunia militer. Kapten Tendean begitu namanya sekarang telah dikenal. Ia menjadi seorang pasukan batalyon di bukittingi dan menjadi ajudan bagi seorang jenderal yaitu Abdul Haris Nasution. Ia pun ditugaskan oke badan intelijen Indonesia untuk menjadi mata mata di Malaysia karena pada waktu itu terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia akibat perebutan wilayah di perbatasan dan konflik pelanggaran batas negara yang dilakukan oleh Malaysia.

8. Karel Satsuit Tubun

Mengenal Pahlawan Revolusi Indonesia
Karel Satsuit Tubun

Karel Satsuit Tubun atau disebut juga K.S Tubun merupakan salah satu pahlawan revolusi, pahlawan yang ikut menjadi korban G30SPKI pada 1965. Dia dilahirkan di Tual, Maluku Tenggara tanggal 14 Oktober 1928. Karel Satsuit Tubun dijadikan Pahlawan Revolusi pada 5 Oktober 1965 dengan Keppres No. 114/KOTI/1965. Pada tahun 1941 Karel lulus dari Sekolah Dasar dan langsung mendaftarkan diri di Kepolisian. Setamat mengikuti pendidikan kepolisian, Karel diangkat menjadi polisi dengan pangkat AIP (Agen Polisi Tingkat) II dan kemudian ditempatkan dalam kesatuan Brigade Mobil (Brimob) di Ambon. Karel kemudian dipindahtugaskan ke Jakarta. Di Jakarta dia ikut dalam operasi militer di Irian ketika pembebasan irian barat dari Belanda. Setelah keberhasilan tersebut dia diberi tugas untuk mengawal kediaman wakil perdana menteri Dr. J.Leiman yang membuat pangkatnya naik menjadi Brigadir Polisi. 

9. Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo

Mengenal Pahlawan Revolusi Indonesia
Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo


Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo, beliau dilahirkan pada hari senin, 5 februari 1923 di Sragen, jawa Tengah. Selama masa mudanya, Katamso Darmokusumo menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan tentara Peta di Bogor. Setelah kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, beliau mengikuti TKR yang perlahan lahan berubah menjadi TNI. Selama masa agresi militer belanda, pasukan yang dipimpinnya sering bertempur untuk mengusir Belanda dari Indonesia. Sesudah pengakuan Kedaulatan, beliau diserahi tugas untuk menumpas pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah. Pada tahun 1958 Ketika beliau menjabat sebagai Komandan Batalyon “A” Komando Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani, terjadilah peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta. Pada tahun 1963, beliau menjabat sebagai Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro yang berkedudukan di Yogkakarta. Untuk menghadapi kegiatan PKI di daerah Solo, beliau aktif membina mahasiswa. Mahasiswa mahasiswa itu diberi pelatihan militer. 

10. Kolonel Anumerta R. Sugiono Mangunwiyoto

Mengenal Pahlawan Revolusi Indonesia
Kolonel Inf  Sugiono

Sugiono dilahirkan tanggal 12 Agustus 1926 di desa Gedaran, Gunung Kidul Yogyakarta. la adalah anak kesebelas di antara empat belas orang bersaudara. Ayahnya bernama Kasan Sumitrorejo, seorang petani yang juga merangkap menjadi Kepala Desa Gedaran. Keluarga Kasan sebenarnya keluarga Islam, tetapi Sugiono kelak menjadi pemeluk Protestan. Pendidikan umum tertinggi yang sempat diikuti Sugiono ialah Sekolah Guru di Wonosari. Setelah selesai, Ia tidak memilih pekerjaan guru sebagai profesinya. Mungkin disebabkan oleh situasi pada masa penjajahan Jepang, maka Sugiono lebih tertarik untuk menjadi seorang militer. Demikianlah Ia mengikuti pendidikan tentara Peta (Pembela tanah Air). Setelah selesai, Ia diangkat sebagai Budanco (Komandan Peleton) di Wonosari. Karir militer tetap dilanjutkannya setelah kemerdekaan Indonesia di proklamasikan. Pada waktu pemerintah mengumumkan pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat), Sugiono mendaftarkan diri sebagai anggota BKR. Pada mulanya ia diangkat sebagai Komandan Seksi BKR Yogyakarta. BKR kemudian ditranformasikan ke dalam TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945. Dengan pangkat letnan dua, Sugiono diangkat menjadi Komandan Seksi I Kompi 2 Batalyon 10 Resimen 3 di Yogyakarta. Setahun kemudian Ia diangkat sebagai ajudan Komandan Batalyon 30 Resimen 22, dan dalam bulan Februari 1947 ia diangkat sebagai ajudan Komandan Brigade 10 Divisi III, Letnan Kolonel Suharto. Dua tahun kemudian Ia dipercayai memegang jabatan baru yakni sebagai Perwira Operasi Brigade C di Yogyakarta. Sesudah Perang Kemerdekaan ia diangkat menjadi Komandan Kompi 4 Batalyon 411 Brigade C, berkedudukan di Purworejo. Kenaikan pangkat menjadi kapten diperolehnya dalam tahun 1955. Sesudah itu ia ditugaskan di Magelang pada Batalyon 436, dan pada tahun 1958 diangkat menjadi Wakil Komandan Batalyon 441 di Semarang. Jabatan sebagai Komandan Batalyon 441 /Banteng Raiders 111 dipegangnya sejak bulan Mei 1961. Sebelum itu pangkatnya sudah naik menjadi Mayor. Karir militernya terus menanjak. Dari jabatan Komandan Batalyon ia diserahi tugas sebagai Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) 0718 di Pati dan kemudian sebagai Komandan Kodim di Yogyakarta. Di sini kesatuannya merupakan bagian dari Komando Resort Militer (Korem) 072 yang dipimpin dipimpin oleh Kolonel Katamso. Selain itu Sugiono juga merangkap sebagai Pejabat Sementara Kepala Staf Korem 072, kedua jabatan itu tetap dipegangnya sampai akhir hayatnya.

Demikian artikel mengenai Mengenal Pahlawan Revolusi Indonesia, mudah-mudahan bermanfaat untuk semuanya. Sekian dan terimakasih.

Komentar0

Tinggalkan komentar Anda disini: